Surat dunia.
"Edisi penyadaran menyusun target sebelum menua."
Siang di kota Kembang. Ku tulis corat-coret kata-kata penting di notesku. Aku memang pelupa, jadi perlu ada catatan kecil sebagai pengingat. Atau alternativenya adalah tulis di aplikasi notes di smartphoneku. Disana tertuang kata mulai dari yg penting hingga kelewat ga penting. Satu notes yg pernah aku temukan adalah "proses terjadinya upil gimana?" Sontak aku yg belum sempat mencari info tentang itu sudah geli duluan. Memang kebiasaanku begitu. Mencatat hal yg ingin dicari tahu atau dikerjakan. Awalnya sahabatku, Defianty yg suka menyobek kertas bukuku untuk corat-coret pengingat, jadinya aku juga ikutan. Untung saja ga nyobek baju orang buat pengganti kertas notesku. Hahaha... ide jahat. Tendang dan lempar ide itu.
"Kamu tuh suka foto ya?" Tanya Vivi yg sedang asyik menyentuh-nyentuh handphoneku.
Sontak aku mendekatinya dan meyakinkan bahwa dia tidak membuka satu icon. Galeri.
"Ehhh tunggu dulu, jangan direbut. Kamu cocok lho jadi model hijab," katanya.
"Kamu apa sih Vi? Iseng doang itu. Kembaliin.. gue malu," pintaku pasrah.
"Ehh tapi serius. Ga semua yg cantik itu fotogenik lho. Lu yg biasa pas kok di kamera," katanya yg serius ga pake mengedip menatap handphone.
"Jadi gue ga cantik," tanyaku dengan nada sedih.
"Hahaha... cantik kok. Sempurna malah. Om ku fotografer lho. Mau jadi model muslimah engga?" Tanya Vivi serius.
Eksis tiap hari di media masa dengan gumpalan make up dan baju indah? Hmm engga dulu deh. Belum siap dilihat orang. Apalagi dinikmati cantiknya oleh orang.
"Vii... untuk tawaran itu, aku belum siap," kataku tegas.
"Engga apa-apa. Aku cuma sayang aja naluri fotomu ga tersalurkan," katanya yg tertawa puas.
"Siyaal... gue tidak alay kok," belaku.
"Terus apa mimpi lu?"
Aku tersenyum yakin mengucapkannya. Seperti kata Dila. Mimpi itu diciptakan untuk diucapkan dan diwujudkan yakin.
"Pengajar, penulis dan perintis industri rumah," yakin lilla hita'ala.
"Yaudah susun yuk target hidup. Hidup tanpa target pencapaian kayak kamu naik pohon pisang. Kalau ga merosot lagi atau pohon pisangnya roboh karena menopang berat badan kita," ucapnya.
Siang itu amat sangat menyenangkan. Di balkon tempat penginapan, kami susun mimpi-mimpi kami. Target 1 bulan, 6 bulan, 1 tahun, 3 tahun dan 5 tahun ke depan. Seperti punya arah yg jelas dan paham akan dibawa kemana diri ini.
"Kira-kira kapan ya kita ketemu lagi dengan target yg sudah kelar semua?" Ucap Vivi padaku.
Semilir angin hanya lewat sekilas tanpa menggerakkan badanku. Tanpa sejuk yg terasa. Aku terdiam mematung. Memikirkan sebuah pertemuan kembali. Kalau kita pernah ada di sini pasti kita akan tidak di sini lagi. Perpisahan. Kata itu yg mulai merasuk di benakku. Kalau bukan karena hadiah tour ini, dan pertemuan kita di jambore sastra se-Indonesia, rasanya nihil untuk bersama.
"Aku engga tau pasti Vi, tapi pas kamu bilang gitu kok aku jadi takut ya, takut jalan-jalan ini berakhir," kataku pelan.
Vivi menghela nafas panjang dan beranjak berdiri. Mendekati tralis balkon. Pandangannya terlempar jauh ke arah bukit kebun teh. Dia berusaha merangkai kata-kata. Tapi hening.
"Sama aku juga. Engga mau pulang. Di sini lebih nyaman," katanya.
Aku tersenyum pasi. Sama halnya dirimu Vi, disini nyaman sekali. Bersamamu ini petualangan yg berharga. Kesempatan seperti ini semoga akan terus ada untuk kita.
"Vi... mungkin sore ini aku pulang. Aku harus mengajar besok,"
"Iya engga apa-apa. Aku juga pulang. Kamu harus jadi guru buat anak-anak. Itu mimpi kamu,"
Tak terasa, mataku sudah berkaca. Kata-kata Vivi begitu menenangkan hati. Seandainya kita berangkat saat liburan, pasti sangat menyenangkan. Waktu milik kita berdua. Tapi apa arti seandainya jika kita memiliki waktu bertemu yg lebig berarti saat ini. Lebih berarti saat ini.
"Yasudah...sedih-sedihnya cukup. Kita packing. Malah lebih bagus kita ga repotin travel lama-lama. Kita kan banyak tuntutan. Hahahaha," Vivi tertawa renyah.
Setelah susun mimpi, kita urus semua kepulangan. Setidaknya inilah kehidupan berpasangan. Kala Allah berikan pertemuan akan ada perpisahan. Menyakitkan memang. Tidak rela, iya.. tapi kita pulang untuk hal yg lebih penting dari sekedar jalan-jalan. Demi mimpi kita. Selamat bermimpi dan mewujudkannya, Vivi Natasya Renata. Selamat menjadi design interior. Kita saling berdoa.
Bandung,
Kepulangan.
Tol Cipularang.
Vivi tidur.
Gue nangis tulis ini.