Senin, 10 Februari 2014

Titik kritis

Surat untuk Allah

Hari pertama di sembilan belas tahun. Malam itu aku lebih banyak terdiam. Merasakan sakit yg melilit dalam tubuhku. Aku coba tahan dan bendung semua sakit itu, tapi aku tak bisa. Malam itu seperti malam yg pekat untukku. Aku rasakan tubuhku semakin melemah dan lemah. Yg kurasakan separuh sadarku sedang meninggalkan jasad ini. Aku merasakan jalan nafasku terhalangi, kembang kempis dadaku yg semakin cepat. Sesak. Seperti terhimpit banyak beban yg menekan dadaku. Aku berusaha mencari celah udara untuk bernafas tapi sesak semakin bersarang dalam dada ini. Aku rasakan mual yg begitu menyiksa. Ingin aku tumpahkan segala isi perutku dalam muntah tapi aku tidak bisa. Aku sangat kesulitan mengendalikan sakit ini. Nafas yg kian lama kian mahal aku rasakan. Dan lambungku yg menolak untuk menerima makanan. Astaghfirullah....
Aku menangis dalam kesakitan. Aku jatuh dalam titik ketidaksanggupanku menahan semuanya.
Dalam pendengaranku, aku dengar suara khawatir mama dan papa di dekatku. Lalu semua suara itu memelan.
Aku rasakan tubuh ini sedang dalam perjalanan yg sangat dingin. Kakiku menggigil. Hawa dingin menyusup ke tubuhku. Aku tersadar dalam sebuah ruangan sempit yg dinding langitnya begitu putih. Aku lihat ada dua org perawat yg menyuntikan entah obat apa di punggung tanganku. Lalu aku hanya terpejam merasakan ada suntikan menembus kulitku.
Aku menangis....dalam kesulitanku aku rasakan ada titik dimana aku bisa kuat. Walau nafas semakin tipis dan aku harus berusaha memuntahkan makanan dalam lambungku, aku rasakan ada bulir air mata yg jatuh dan menghangat di pipi.
Aku sebut satu nama yg buatku yakin aku akan baik baik saja. Nama itu aku sebut dalam linangan tangis ketakutan. Aku hanya takut tiba saatnya saja. Engkau pasti paham, kematian. Beberapa menit setelah suntikan, aku rasakan tubuhku menggigil. Ujung kakiku dingin. Menjalar perlahan naik ke atas hingga tepat seluruh tubuhku menggigil. Aku rasakan gigiku sudah berbunyi merespon hawa dingin. Bibir ku gigit untuk ku bisa bertahan.
Aku takut.... mataku semakin berlinang. Aku pernah membaca buku tentang kematian. Dan dimulai dengan kebekuan nan dingin lalu siap hilang nyawa dalam jasad. Aku takut.... itulah saatnya aku bertemu Rabb ku.
Aku sebut nama itu, Ya Rabb.....aku sebut dalam nafas yg tersendat. Aku sebut dalam lemahku. Inilah titik kritis yg bisa saja benar, aku menghadapi sakaratul maut. Hingga suntikan kedua menusuk kelenjar kulitku. Aku hilang kesadaran.
Aku terbangun dalam pagi buta dengan keadaan terbaring di atas kasur inap. Aku rasakan tanganku masih bisa digerakan walau sudah tertancap selang infus. Aku rasakan kakiku bisa bergerak. Mataku berkedip. Wahhh.... aku masih disayang Rabbku. Subhanallah..... apapun yg terjadj, Allah sayang sama diri ini. Semoga ini menjadi hadiahku, kesempatan penggugur dosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar