Surat dunia
"Niat baik tetaplah baik tak berkurang sedikitpun."
Jika kita berniat untuk membantu saudara kita, maka luruhkanlah gengsi, egois dan takabur. Terlepas caranya itu diterima atau tidak, terlepas yg ditolong rela atau tidak, tapi berfikirlah baik... bahwa tak ada udang-udangan atau kepiting-kepitingan di balik batu. Manusia hanya ingin berbuat baik, itu fitrahya.
Siang tadi, ada percakapan seru antara aku dan temanku. Kami membicarakan seputar dunia pendidikan.
"Aku sih ngajar aja, capek wong gaji kecil moso harus memajukan nama sekolah," katanya dengan nada sedikit kesal menerima slip gaji.
Aku hanya tersenyum merespon keluhan temanku itu.
"Kamu juga tuh, rajin amat urusin pendidikan gratis sana sini, urusin aja kesejahteraan sendiri," tambahannya.
Untuk yg ini, aku mempertimbangkan sejenak.
"Ini kan zaman kemerdekaan, kalau dulu saat zaman penjajahan orang-orang perlu pendidikan karena mereka mau ajaa dijajah," ucapnya.
"Aku engga setuju," penolakanku tegas.
Aku hargai keputusan temanku itu. Sungguh mulia untuk melancarkan urusan pribadi hingga mensejahterakan daripada mengurusi banyak hal tapi nol hasilnya. Tapi kalau soal membagi ilmu, itu wajib lah sebagai seorang manusia. Ingatkah ini, "sampaikanlah walau satu ayat," nah yg jadi tabir adalah pandangan dan materialis. Kenapa begitu? Mari kita jelaskan satu persatu. Memang setiap orang punya kesibukannya sendiri. Waktu sangat berharga. Lebih baik ini daripada itu. Lebih baik tidur istirahat daripada mengurusi soal negara yg rumit. So otak kita punya planning terbaik untuk keuntungan pribadi kita tapi coba fikirkan ini. Seandainya ada jutaan anak yg tak mampu membayar uang sekolah dan mereka memilih bodoh padahal di dalam takdir Allah mereka adalah ilmuwan penemu obat HIV aids bagaimana? Relakah kita membuang mereka di jurang kebodohan? Lalu jika diantara mereka adalah insinyur penyumbat lumpur lapindo, apa kita rela membiarkan mereka bodoh dan tenggelam dalam lumpur ketidakpedulian kita? Jika diantara mereka adalah petani yg mampu mengijaukan dunia, apa kita rela mengeringkan nurani kita demi potensi mereka untuk lingkungan. Jika diantara mereka adalah hakim yg hebat memberantas kasus korupsi, apa kita rela membiarkan mereka hidup termangu melihat teater korupsi yg spektakuler? Jika uang menjadi raja atas hidupmu kelak ia akan mencekikmu pelan-pelan. Si kertas itu memang indah tapi itu yg membuat nuranimu mati akan kepedulian. Tidak semuanya kok harus berpamrih uang, semuanya wajib berpamrih kebaikan tindakan. Misal: orang yg memakai minyak wangi, berharap orang lain tidak merasa terganggu dengan bau badan kita. Kita memang bukan malaikat, tapi hati kita lebih bernurani untuk lingkungan kita. Itu yg harusnya buat kita bertahan menjadi seorang pendidik.
"Ingatkah kata John of kennedy gausah mikirin negara kasih apa ke kamu, tapi kamu bisa kasih apa ke negara. Hukum kekekalan energi,"
Semoga sekolah gratis yg sedang aku bangun sejarahnya menjadi nyata, azzam harus kuat.
En.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar