Minggu, 30 Agustus 2015

Surat sarjana

Surat sarjana

"Tak akan cukup baktimu bagi ayah dan bundamu bahkan dalam seumur hidupmu,"

Surat ini aku tulis dalam perasaan yang haru biru sesaat setelah aku impikan sebuah acara wisudaku. Yaa... inilah satu permintaan ayahku agar aku menjadi anak yang bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Bukan hanya sebuah status kependidikan yang membawa limpahan harta padaku namun lebih dari itu.
Berkali-kali aku ingin tanyakan pada ayah, apa alasannya mengapa aku harus menjadi sarjana? Ayah hanya bilang satu kalimat.
"Nanti kamu akan paham maksud ayah ini baik, jalani dengan serius,"
ya ayah adalah orang pertama yang telah berkorban banyak demi aku. 11 tahun lalu, ada kisah sarjana yang belum selesai. 11 tahun lalu demi aku masuk sekolah menengah pertama, ayah menunda salah satu cita-citanya menjadi sarjana. Agar biayanya dipakai untuk membayar uang muka sekolahku.
Ayah adalah yang paling hebat. Diantara banyak guru lain di tempat ayah mengajar, ayah salah satunya yang belum sarjana. Karena keterampilan ayah maka ayah tetap dipertahankan di sekolah. Sekian banyak yang membuat ayah merasa sangat berbeda dalam perlakuan dan gaji di sekolah tersebut. Namun yang ku tahu, ayah tetap mempertahankanku agar tetap bersekolah dengan baik. Bisa ku bayangkan bahwa dalam benakmu telah ada harapan baru yang tengah bersinar. Bahwa cita-citamu bukan hanya untukmu namun sedang aku gulirkan bersamaku. Sedang aku perjuangkan bersama usahaku. Ayah sayang, perlahan aku telah temukan jawaban atas semua harapanmu padaku, tentang sarjanaku yang harus aku raih. Sarjana, bukan hanya sebuah status yang akan mengangkat derajat keluargaku. Bukan hanya mengangkat derajatku. Namun lebih dari itu. Bukan hanya sebuah gerbang dengan kehidupan yang enak dan banyak kemudahan yang diberikan. Namun lebih dari itu. Bukan hanya sebuah status yang akan membesarkan namaku namun lebih dari itu. Inilah satu langkah yang akan mengawali kisah baru di keluargaku. Inilah kisah awal hidup baru bagi keluargaku. Sebagai anak pertama bagi kedua orang tuaku, tentu ada tugasku memberi jalan awal yang baik bagi adik-adikku. Agar mereka punya standar yang baik dalam hidup ini. Sebagai cucu pertama dalam keluargaku, tentu aku menjadi tonggak dari semua harapan. Inilah yang buatku sangat ingin membahagiakan kalian semuanya. Lewat perjuangan pendidikanku agar aku mampu sebaik-baiknya manusia yang bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa. Agar aku amanah dalam menebar ilmu kalam darimu. Agar aku amanah dalam menjalankan tugas khalifahmu.

Ya Allah... mudahkanlah...
Ya Allah... lancarkanlah...
Setelah banyak pengorbanan kedua orang tuaku.
Maka izinkanlah aku membahagiakan mereka.
maka jadikanlah aku satu cahaya bagi mereka.
Maka izinkanlah aku persembahkan wisudaku untuk mereka.
Perjalanan sebentar lagi ya Rabb...
Mudahkanlah... lancarkanlah... berkahkanlah...

Jumat, 28 Agustus 2015

My Ride

Assalamu'alaikum wr.wb

Salam kenal ukhti semua. Salam bahagia dari saya yang telah diciptakan oleh-Nya sebagai salah satu khalifah di bumi. Terima kasih kepada hijab Almira yang mengizinkan saya membagikan kisah saya disini. Perkenalkan ukhti semua, nama saya Eka Nurwati. Mahasiswi di sekolah tinggi pendidikan di Jakarta. Usia saya 20 tahun. Sudah 5 tahun saya memutuskan berhijrah untuk menjadi muslimah berhijab. Tak mudah memang, namun semuanya saya paksakan. Kata "paksa" sendiri menjadi kata berkonotasi negatif bagi banyak orang. Bagaimana bisa sebuah hal yang baik dipaksakan? Apalagi berjalan dengan sedikit ikhlas. Begini ukhti sholehah kisahnya.

Ada satu kalimat yang sederhana namun besar artinya bagi saya.

"Kita bisa karena biasa. Awalnya belum bisa namun lama-lama kita biasa,"

Satu kalimat itu yang melekat dalam benak saya. 5 tahun lalu, tepat saya kelas 1 SMA di sebuah SMA negeri di Bogor. Saya masuk dengan tes yang lumayan ketat. Sebagai siswa disana wajib mengikuti beberapa ekstrakulikuler yang tersedia. Saya memilih 3 sekaligus. Pilihan saya jatuh pada Rohani Islam, Kepalangmerahan, dan tarian saman dari Aceh. Dalam menjalani hari-hari sebagai siswa SMA, tak mungkin tidak penat. Dengan jadwal mata pelajaran yang bertumpuk lalu harus ekskul setelah pulang sekolah. Banyak teman-temanku yang memilih tidak aktif dan lebih menjaga penampilan mereka. Bayangkan ketika saya harus ekskul kepalangmerahan yang di lapangan atau saya harus berkeringat ria ketika latihan tarian. Semua ku jalani dengan bahagia dan tak mau meninggalkan satu ekskul pun. Banyak teman saya yang lebih memilih tetap tampil cantik dengan balutan make up dan wewangian. Maklum masa pubertas. Saya pun sama, saya suka sekali jika rambut saya terurai dan dapat ditata rapi dan cantik ketika sekolah. Saya belum berkerudung pada saat itu. Sampai pada suatu rapat dalam ekskul Rohis yang mewajibkan peraturan baru,

"Ketika rapat semua wajib berjilbab bagi yang perempuan," keputusan bapak ketua Rohis saat itu.

Yaa mau tidak mau saya sebagai anggota baru mengikuti apa yang menjadi perintah atasan. Pernah satu waktu saya lupa berjilbab saat acara rapat Rohis namun yang saya putuskan adalah kabur dari acara rapat dan pulang. Hehe namanya juga anak SMA yang masih labil.

Berkali-kali rapat Rohis berarti tandanya saya harus bawa jilbab di tas. Lalu pakai jilbab itu untuk rapat kemudian lepas jilbab ketika pulang rapat. Berkali-kali melakukan hal yang sama yang ku rasakan hanya satu,

"Kok ribet yaa? Kayak bongkar pasang kerudung aja?" Kata hatiku.

Pernah terselip niatan yang buruk untuk keluar Rohis karena jilbab merepotkan. Ahh namun semuanya aku tepis saja. Toh pecundang saja saat hal kecil itu harus menghentikannmu. Bukan hal kecil soal jilbab namun kemauannya untuk berjilbab itu yang belum ada.

"Ninti aja ah pakai kerudungnya pas udah nikah aja," jawabku enteng.

Tapi melihat satu persatu temanku yang perempuan berhijab kok jadi getir ya hati ini? Kayak beda kasta deh kalau lagi kumpul sama teman Rohis yang lain. Kata hatiku yang mulai goyah.

Tiba di satu hari aku katakan niatku untuk berhijab kepada mama. Mama antusias dan langsung membelikan baju panjang plus kerudungnya. Namun belum bisa aku pakai. Masih belum percaya diri.

Lalu aku ceritakan niatanku pada kakak kelasku yang sama-sama di Rohis.
"Kak aku mau pake kerudung aja deh biar ga ribet pas rapat," ucapku. Hanya sampai situ niatku. Biar ga ribet.
Lalu dengan bahagianya kakak kelasku menjelaskan soal hijab,
"Subhanallah dek, kakak seneng loh kalau itu sudah jadi keputusanmu," katanya.

Aku hanya tersenyum manis. Semanis mungkin.

"Berarti hidayah sudah kamu dapatkan," lanjutnya.

"Kok hidayah kak? Kayak dosa banget ya aku?" Tanyaku.

Ia menarik nafas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan energi untuk menjelaskan banyak hal padaku.

"Kamu tau lontong de? Kenapa coba lontong harus dibungkus?" Tanyanya.

"Supaya ga basi dan kotor ya kak?" Jawabku ragu.

"Kamu betul dek," katanya antusias.

Berhijab itu menjaga kita dari lingkungan luar. Maksudnya menjaga aurat kita agar tidak dinikmati banyak orang. Kalau lontong tanpa bungkus maka yang hinggap bisa saja lalat pembawa penyakit. Jika tanpa hijab maka bisa jadi banyak hal yang buruk terjadi. Misal digoda kaum adam karena keindahan tubuh, lalu hawa nafsu karena kita yang menampakan keindahan tubuh, karena yang keluar tanpa menutup maka akan dilingkari setan.

Maka semakin kuatlah niatku untuk berhijab. Walau kadang banyak godaan saat kepala terasa panas dan gerah namun ini sedang dalam proses adaptasi. Satu yang buatku merasa ingin kembali untuk lepas hijabku adalah kala aku lihat teman-teman yang lain begitu cantik dan nyamannya tanpa hijab. Rambut bisa digibaskan dan ditata sedemikian rupa. Namun itulah tantangan yang harus aku lewati.

"Kak apa aku cantik yaa pakai hijab?" Tanyaku polos.

"Kamu cantik dek, kenapa kamu masih ragu ya?" Tebak kakak kelasku.

Aku hanya tersenyum sambil menatap diriku di depan cermin.

"Bukan kamu yang sudah cantik lalu berhijab namun hijab yang mencantikan wajah dan hatimu. Setidaknya kamu telah belajar bagaimana menjaga kehormatanmu dan kamu adalah perempuan cerdas dek," katanya amat sangat yakin.

Dan sungguh aku berterima kasih pada Allah yang telah menegurku dalam kelembutan sayangnya. Yang telah menjadikanku perempuan yang sedang belajar dan dikelilingi orang-orang pembelajar. Bertahun-tahun sudah aku berhijab. Aku tetap berkarya dan berkarya. Karena hijabku adalah perisai perang hawa nafsuku. Karena hijabku menegurku agar aku jaga akhlakku agar tidak rusak. Karena hijabku juga aku menemukan banyak kesempatan dalam menjalani hidup ini. Hingga saat ini, aku telah menemukan dunia kreasiku karena hijabku. Kreasi bross dari kain-kain yang berwarna. Dan itulah yang menjadi semangatku. Aku memang belum bisa membawa banyak temanku berhijab namun aku bisa mengajaknya lewat karyaku, bross hijab.

Untuk setiap langkah dan pertemuan
Untuk setiap kisah dan perjalanan
Aku bersyukur
Bahwa Allah yang melindungiku
Dan meyakinkanku lewat pilihanku
yang telah membisikan keamanan
dalam ayat-ayatnya
Dan dalam hijab ini aku serahkan
Bahwa pertolongan Allah amatlah dekat.

Terima kasih. Salam kenal dari kota Bogor.

Daftar Riwayat penulis

Nama      : Eka Nurwati
TTL          : Purbalingga, 9 Feb 1995
Usia         : 20 tahun
Hoby        : bloger
Alamat     : Desa Pasirangin RT 01 Rw 04 no 23 Cileungsi-Bogor 16820
Alamat e-mail : ekanurwati09@yahoo.com
Blog          : www.sebuahkotaksurat.blogspot.com
Pekerjaan : guru

Motto hidup : Menulis mengukir sejarah

Ini tentang kamu

Setangkai bunga, bukanlah kata

Bukan bunga yang memintamu untuk berkata.
Namun hatimu yang mendorongmu
Untuk mengucapkan.
Bukan cinta yang membuatmu bertahan
Namun bersamanya kamu telah temukan alasan kamu tetap bahagia dan membahagiakannya
Bukan cincin yang memintamu terikat padanya.
Namun ruang hatimu yang tetap berada bagi orang yang sama.
Tetap diiisi oleh senyum yang sama
Tanpa pernah berfikir untuk meninggalkannnya dalam lemah dan tak berdaya.
Bukan janji dalam kehidupan bersama
Namun sebuah pembuktian yang membuatmu aman bahwa kamu tetaplah menjadi satu dalam hatinya.
Bukan indahnya malam-malam bersamamu yang telah dilewati namun kesediaanya menempuh badai yang menghempas namun tetap menggenggam erat.
Bukan kebahagiaan dalam sehat dan tawa yang riang
Namun tetap berada di sisi kita ketika sekarat sekalipun.
Bukan hanya soal limpahan harta yang telah kamu berikan.
Namun tentang mengajarkanku bagaimana menjadi satu bidadari setiap hari.
Bukan tentang rencana masa depan yang amat sangat indah.
Namun kamu berusaha selalu untuk aku hidup dan tetap bahagia bersamamu hari ini.
Ini soal menemukan maupun diketemukan dalam perjalanan bersama
Tentang sebuah perjalanan yang menembus waktu
Namun tetap melangkah bersama orang yang sama.
Tentang bersyukur atas kiriman-Nya
Bahwa cinta bukan soal rasa namun tanggung jawab hingga akhirat.

Rabu, 19 Agustus 2015

Untukmu,


Untukmu.

Untukmu yang tiap doaku aku pasrahkan pada Allah. Untuk kebaikan dunia akhiratku. Untukmu yang tak pernah absen dalam bayangan di otakku. Dan untukmu yang buatku tersenyum bahagia bahwa kamu bukanlah ilusi belaka.

Kamu adalah satu dari hal yang ingin aku hidupkan dalam usia hidupku. Kisahmu yang telah aku semat indah bersimpul bahagia. Yang tiap aku bayangkan semua mengalir mudah dalam ingatan dan rencana. Kamu yang kala pagi ingin aku datangi dan kusaksikan betapa Allah sangat ingin aku bersamamu. Yang tiap pagi ingin aku datangi dan kusaksikan banyak harapan bermunculan karenamu. Kamu yang tiap siang ku rasakan sejuk dalam teduhan yang mendamaikan. Yang kala angin sore mengibaskan jilbabku dan ku rasakan bahwa dilengkapkan lagi nikmat Allah lewat kamu.
Ya kamu... kamu yang buatku tetap mau melangkah dan melangkah. Menyadarkanku untuk tetap bersama-Nya dalam asma doa yang tak kunjung berhenti. Kamu yang buatku ingin mengenal banyak hal pengetahuan agar nantinya sejalan dan searah. Kamu yang buatku bisa merasakan bahwa setiap gerak doaku akan menuju padamu. Kamu.. ya kamu... maka dari itu, jikalau Allah memampukanku dalam ikhtiarku, maka aku ingin kamu kuraih. Sebagai rasa syukurku pada-Nya bahwa hanya Allah yang menguatkan dan meniupkan banyak keyakinan bahwa kamu ada untukku. Maka dari itu tetaplah berada untukku. Dan ku ingin bahagia bersama Allah dan kamu. Kamu bukanlah siapa yang akan bersamaku. Namun bagiku kamu tetap jadi sumber inspirasiku selama ini. Kamu bukanlah siapa yang akan bersamaku sampai aku mati. Tapi kamu buatku hidupku bermakna dan matiku insyaallah bahagia. Kamu bukanlah siapa-siapa. Kamu adalah sekolahku. Sekolah impianku.

"Ya Allah semoga Kau limpahkan banyak kekuatan untukku agar terus mewujudkan ini,"

Aku ingin sekolah impian ini bukan hanya mimpiku saja, namun bagi mereka yang beruntung menjadi bagian di dalamnya. Aku ingin mereka bahagia ketika belajar di dalamnya. Aku ingin mereka aman dan nyaman di dalamnya. Tertawa dan berlarian di lorong sekolah. Berkejaran bersama teman-teman lainnya. Lalu ada deretan pohon rindang yang menaungi kisah kami semua. Ada para guru sholeh dan sholehah yang membuat mereka amat menikmati pendidikan mereka. Ada aliran kolam yang gemericiknya akan jadi bunyi paling merdu yang pernah aku dengar. Semoga ya Allah... Kau mudahkan aku bergerak untuk pendidikan gratis bagi mereka yang membutuhkan. Aku ingin tak ada yang susah sekolah. Aku ingin semua punya masa depan yang cerah. Ya Allah... izinkanlah aku berada dalam gerak bersama-Mu. Dalam sekolahku yang mampu mengobati mereka yang broken home dan kesepian akan arti keluarga.

Ahh jika aku fikirkan ini rasanya semakin dekat, maka dekatkanlah aku pada orang-orang yang baik. Yang mengantarkan kamu padaku maupun sebaliknya. Mudahkan. Wujudkan. Bahagiakan dan semoga bermanfaat. Sekolah impianku.

(Calon) kepala sekolah


Eka Nurwati M,pd.

Kamis, 13 Agustus 2015

jalan baru

Jalan Baru

"Dalam hidup kadang tamparan keras memang diperlukan. Namun tamparan hanya akan menjadi memar apabila tak ada tangan lembut yang mengelus setelahnya. Tamparan akan menjadi pelajaran apabila setelah itu ada sepasang tangan yang memeluk kepedihan yang muncul,"

Blog ini aku persembahkan untuk dosen pertamaku. Dosen yang telah mengajariku untuk menemukan jalan baru.

Kisah ini berawal dari 5 tahun lalu. Saat aku bertemu beliau dalam acara promo beasiswa luar negeri. Beliau ada di hadapanku sebagai pembicara bagi ratusan undangan lainnya. Setengah hati aku langkahkan kaki ke acara itu. Karena buat apa? Mau dikasih refrensi kuliah apapun tetap saja keluargaku belum punya cukup tabungan untuk aku kuliah. Kalau ditanya soal beasiswa, ingin rasanya bisa mendapatkannya. Apa daya beasiswa yang aku dapatkan jauh di kota sana. Yang menambah kekhawatiran kedua orang tuaku jika aku berpisah dengan mereka. Langkahku masih gontai saat aku harus duduk di barisan paling depan panggung. Suntikan-suntikan motivasi pelan-pelan masuk ke dalam otakku. Kata motivator itu,

"Taklukan dunia maka dunia ada dalam genggamanmu,"

Sihir apa yang ada dalam kata-kata itu hingga aku menatapnya lebih lekat dari sebelumnya.

Setelah acara selesai aku ke belakang panggung dan menghampiri satu ruangan khusus pengisi acara. Ada beberapa panitia yang berjaga.

"Maaf kak, saya mahasiswi bimbingan bapak motivator tadi. Saya sudah ada janji revisi dengan beliau," kataku berbohong. Aku diizinkan masuk.

Entah apa lagi ini. Untuk apa aku menemui orang asing yang baru aku jumpai beberapa jam lalu.

Langkahku pelan sambil ku sebut satu nama,

"Pak!" Kataku pelan.

Senyum ramahnya mencairkan kegelisahan nekatku yang harus masuk dalam ruangan itu.

"Saya Eka Nurwati, saya siswi SMA kelas 3 boleh saya bicara dengan bapak,"

"Tentu saja," balasnya ramah.

Dengan keyakinan aku rangkai kata demi kata untuk bisa mengungkapkan beban yang aku rasakan. Sesekali aku harus menyeka air mataku yang turun.

"Saya tau pak, ini bukan hanya soal lanjut sekolah tapi soal biaya dan kemampuan keluarga saya. Ada harapan tertumpu pada saya namun saya tak kuasa jikalau memang pada akhirnya kuliah adalah cuma mimpi saja. Kuliah kan ga murah pak," kataku terisak.

Iyaa menanggapi ceritaku dengan baik. Sesekali ia bertanya soal jurusan dan minatku.

"Pendidikan biologi atau ga sastra indonesia pak," jawabku yakin.

Lalu ia rangkum semua yang aku ungkapkan pada saat itu,

"Kamu tau mata elang? Jikalau ia tak tajam maka ia tak bisa terbang setinggi itu. Saya tau bagaimana beratnya saat mimpi kita ternyata didukung dengan uang. Saya adalah mantan preman terminal kampung rambutan. Saya bisa kuliah karena hasil dari jerih payah saya memarkirkan bis-bis di terminal. Saya tak ada niat kuliah. Tapi kalau kamu sudah ada rencana. Itu lebih baik. Saya hanya ingin kamu tetap kuliah. Apapun susahnya. Apapun repotnya. Kamu bisa bekerja agar semuanya mudah," katanya.

Pada saat itu mataku mereda. Fikiranku terbuka walau sedikit. Yaa bekerja. Yaa hanya itu yang bisa jadi jawaban dari semua khawatirku.

"Maaf kak, saya harus pergi. Ini kartu nama saya. Saya harap kamu hubungi saya," katanya yang terburu-buru.

Dia pergi dengan meninggalkan secarik kartu nama. Yang aku ingat hanyalah soal mata elang tadi. Soal terbang tinggi. Kalimat itu yang buat saya yakin bahwa harus ada keputusan.

5 bulan berlalu. Saat kelulusan. Saat itu aku lihat banyak lembaran brosur dengan harga kuliah "astaga". Lalu aku ingat, aku hubungi saja nomor yang tertera dalam kartu nama.

"Assalamu'alaikum pak apa kabar?"

"Wa'alalaikumsalam. Kabar baik kak. Kamu sehat? Oh yaa bapak ingin kamu datang ke tempat mengajar bapak di pal merah. Bapak ingin membiayai kamu kuliah disini."

Seperti pelangi yang hadir dalam badai seperti angin segar dalam kekeringan. Aku berangkat dan menemui beliau di kampus teknologi dan terkenal di jakarta.

"Iyaa kamu bisa ambil jurusan yang kamu mau, kamu bisa tinggal di belakang kampus. Ada apartemen di sana. Biaya saya yang cover semua," katanya.

Aku hanya terdiam menikmati megahnya kampus impian ini. Sampai aku disodorkan biaya untuk kuliah sebesar 60 juta di muka.

"Masyaallah," kagetku.

Aku berfikir panjang. Bahkan sangat lama untuk bisa memutuskan. Hanya mereka yang tidak bersyukur paling yang bisa menolak biaya kuliah gratis.
Yaaa akulah orangnya.
"Pak.. saya senang bisa kuliah disini  tapi saya tak sanggup kalau pada akhirnya saya harus merepotkan bapak yang menjadi dosen disini. Saya mau berusaha sendiri pak," keputusanku bulat.

Dia menerima keputusanku. Tapi tetap dengan niat tulus yang sama. Nanti kalau kurang dan butuh buku hubungi bapak ya.

Beberapa bulan setelah itu, aku bekerja di daerah Jakarta. Aku sisihkan 3 bulan gajiku untuk bayar kuliah di tempat pilihanku. Dengan senangnya aku kabari beliau jikalau aku sudah awal berusaha. Jawabannya singkat jikalau ada apa-apa hubungi beliau saja.

Bertahun-tahun berlalu sampai aku sudah semeseter 4 dan kunikmati setiap usaha kerjaku dan kuliahku. Aku bertemu beliau pada kesempatan di gedung metro tv.

Dan sejak pertama aku bertemu aku ingin bertanya, "kenapa bapak mau membantu saya?"

"Kamu ingat saat saya buru-buru pergi kak, saya bilang kita akan ketemu lagi saat kamu sudah sarjana. Saya yakin itu kak, saya mau   membantu kamu tapi kamu tetap kamu bisa dari dulu kamu sudah temukan jawabannya. Kamu bisa!" Katanya yang meyakinkan.

Ramahnya. Sabarnya. Sederhanyanya. Yang buatku beruntung mengenalnya. Ya dialah dosen pertamaku. Bahkan sebelum aku masuk universitasku. Beliau yang memberiku cahaya baru saat itu. Hingga hari ini, beliau tetap memantauku dari jauh. Menanyakan kabarku, kerjaanku, nilai kuliahku. Hingga diujung kalimat selalu "kalau butuh apa-apa buat kuliah bilang ya,"

Saya paham pak sekarang. Kenapa saya harus berbohong kepada panitia hanya untuk menemui bapak. Kenapa langkah saya tetap tergerak ingin menemui bapak padahal bapak adalah orang asing. Dan saya paham pak kenapa bapak ada dalam daftar inspirasi di kamar saya. Karena semangat bapak hingga melanjutkan S3 bapak. Bapak buat saya punya satu harapan lagi saat saya lelah dengan kuliah saya. Saat saya capek buat bekerja supaya biar bisa bayar cicilan semesteran. Bapak yang mencontohkan bagaimana caranya. Bertekad berusaha sendiri karena kita masih mampu.

Saya masih ingin bertanya pak, "benarkah Allah sangat adil?" Ya pertanyaan itu yang saya lontarkan saat bertemu 5 tahun lalu.

"Allah adil pak. Sangat adil. Saat ada tamparan dalam hidupku artinya aku harus sadar. Dan melihat sekililingku yang mendukungku,"

Bapak adalah pak Besar. Sederhana namanya. Namun telah berpengaruh dalam hidup saya. Saya anggap bapak adalah kakek saya. Usia bapak menjelang 50 tahun namun bapak telah mebambah rasa kagum saya.

Saya ingin mengundang kamu ka, dalam acara wisuda saya. Saya berharap kamu tidak menolak. Saya ingin kamu ada diantara hadirin di depan saya. Saya ingin ucapkan terima kasih kepada kamu. ...

Tetaplah menjadi kebanggaan ayah ibumu. Tetap menjadi orang sukses dimanapun dan kapanpun. Kesulitan kali ini adalah kemudahan nantinya.

Salam hangat.
Besar

Ya Allah... akulah yang ingin berterima kasih.

"Terima kasih, sayangi beliau," doaku.

Jumat, 07 Agustus 2015

Karena cantik tak pernah sirna

Karena yang cantik, tak akan sirna

"Baru aku mengerti artinya bidadari, sejak di hari ini jumpa kamu di sini,"

Post kali ini ditemani dengan mp3 dari babang Al Ghozali dengan rayuan lagunya yang tsahhh.... dahsyat tak kira. Kaum hawa mana yang tidak klepek-klepek saat ada yang menyatakan bahwa "kamu bidadari". Semoga tidak melayang hingga ke langit ke tujuh. Hehehe...

Namun babang Al juga paham kan yaa bidadari pasti cuantikkk tenan. Seperti yang dikisahkan dalam Al-qur'an. Bahwa ada bidadari dalam surga yang ketika melentikan matanya maka akan terasa kedamaian dalam jiwa. Dan siapa sih kaum hawa yang ga mau dapet predikat "cantik" dan itu disematkan oleh semua orang? Pasti semua berlomba untuk tampil paling cantik dan menarik. Namun benarkah cantik saja cukup untuk menjadi modal bagi kita? Khususnya aku jugaa sebagai seorang wanita ciptaan-Nya.

1. Cantik adalah saat kita tahu tentang diri kita.

Cantik adalah dambaan. Namun mengenal diri kita yang unik adalah hal yang buat kita semakin sadar bahwa Allah telah menciptakan wanita dalam keadaan yang subhanallaj cantiknya. Meski banyak perbedaan namun tak ada yang namanya standar cantik. Cantik adalah menjadi diri sendiri.

2. Cantik wajah sangat memikat namun cantik hati lebih melekat.

Haduhh ada jerawat ini, gimana dong?

Haduh masih item aja ini kulit?

Tentu Allah tak melarang yang namanya merawat kecantikan dari-Nya. Allah akan senang jikalau kita mampu merawat diri ini dengan baik dan tak membebani kita. Asal itu sehat dan tidak merubah ciptaan-Nya maka kita memang harus memahami cara merawat diri dan kecantikan. Namun perlu di garis bawahi,

"Tak ada standar cantik yang mutlak yang ada hanya kebanyakan orang yang biasa menstandarkannya,"

Maka dari itu bersyukur. Itu adalah kunci agar cantik kita tetap melekat dalam diri kita. Diiringi dengan hati yang tulus ikhlas dan perilaku yang berakhlak maka terdoronglah semua pancaran cantik yang ada dalam diri kita. Bagai Nur yang memancar dan menerangi dunia, hanya mereka yang cantik hatinya akan tetap dijaga dan dikagumi dalam kesucian.

3. Kan ku cantikan diri ini dalam prestasi

Bagi kamu yang sedang berjuang mati-matian bekerja demi hidupmu dan keluarga, kamu yang tetap tekun sekolah, tetap mencari ilmu karena merasa masih belum banyak bekal, lalu kamu yang masih giat mendalamu keterampilan maka inilah cara cantikmu bersinar. Kan kita buktikan dalam usaha yang pantang menyerah bahwa tak ada yang tidak mungkin.

Ketika kita bisa menghadiahkan sebua prestasi di hadapan banyak orang,

"Selamat atas kelulusan pendidikannya dari Universitas,"

Bukan hanya kamu yang bahagia tapi seluruh keluargamu, teman-temanmu dan semua orang yang mendukungmu.

"Selamat atas kenaikan jabatan, semoga semakin amanah,"

Bukan hanya kamu yang bahagia namun kamu bisa memberi banyak kebahagiaan bagi banyak orang.

"Karena kamu adalah keistimewaan dan kamulah kecantikan yang menakjubkan,"

4. Ku hiaskan cantikku dalam balutan kesadaranku bahwa aku akan bermanfaat bagi orang banyak.

Ada seorang tokoh di Indonesia, beberapa bulan lalu kami berjumpa. Ibu Siska Y. Massardi. Pendiri sekolah garasi. Misi kemanusiaan beliau yang menyemangati saya walau hanya lewat pertemuan singkat. Dari sekolah garasinya saya belajar banyak hal soal anak dan pendidikan.
Pesan beliau kepada kita semua,
"Tak ada anak yang tidak pintar, yang ada hanya mereka yang bermasalah dan sedang butuh teman untuk berbagi bersama,"

Dan beliaulah salah satu wanita tercantik yang pernah saya temui.

Dalam Al-Qur'an dijelaskan bahwa sebaik-sebaiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.
Maka sekecil apapun niat kebaikan kita lalu kita wujudkan maka telah menjadi satu manfaat bagi orang lain tanpa kita sadari. Bagaimanapun caranya kita agar bisa menebar manfaat bagi orang banyak, semua wanita berhak berperan dalam jalan pilihannya. Selama Allah meridhoi maka limpahan berkah-Nya akan mengalir.

Lalu bagaimana rasanya ketika cantik bukan hanya soal fisik dan tampak luar? Soal cantik yang tidak melulu putih kinclong? *piring kali kinclong.

Kita akan tetap menjadi cantik karena kita adalah ciptaan-Nya. Tak ada satupun yang layak menghina.

Semoga bermanfaat kawan, makasih ya babang Al-Ghozali lagu "Kurayu Bidadari" asikkk jadi Ge Er terus dengerin lagunya.
Hahahhaa

Salam cantik

Sekiranya kamulah kamuku


Sekiranya kamulah kamuku,

"Tak ada yang pasti, semua dalam batas usaha."

Kamu, yaa kamu... ada dalam bait doaku. Kamu menjadi satu harapan yang aku kirimkan pada-Nya. Kamu..  yaa kamu ada dalam satu mimpiku dan telah aku sematkan dalam ingatan di otakku. Kamu, kamu buatku membelangakan mataku. Bukan karena kamu begitu indah. Kamu, buatku berhenti lama kala aku melihatmu. Bukan karena keindahan yang ada pada dirimu. Kamu, buat bicaraku terhenti. Bukan karena kamu pandai mengungkapkan banyak hal. Kamu, buatku ingin terus terbelangak, ingin terus terhenti lalu ku gambarkan diriku dalam kertas putih. Di situlah aku sangat sadar, bahwa aku harus benar-benar sadar akan kenyataan ada di hadapanmu.

Kamu, bagai membawa cermin besar lalu kamu tampakan padaku. Dan aku lihat bayanganku. Tak ada yang berbeda. Aku tetaplah aku. Namun apa yang salah ketika semua hal berjalan aneh dari biasanya?
Kamu, yaa kamu walau kamu berdiri jauh disana, tetaplah aku merasa kamu telah menjadikanku sangat aneh. Berkali-kali aku lihat cermin yang besar. Aku sangat teliti melihat bayanganku sendiri.
Yaa kamu, tahukah mengapa berjalan aneh? Karena aku telah melihat sisiku dalam sisimu. Ahh... sungguh. Aku ingin tutup wajahku dalam balutan kain dan tak ingin aku tampakan lagi.

Aku lihat sisiku ada dalam dirimu. Karena itu aku sangat menyadari, aku belum sempurna. Yaa aku belum sempurna dalam iman dan taqwaku. Aku masih menjadi hamba-Nya yang penuh dengan khilaf dan berburuk sangka. Aku lihat sisimu yang mengagumkan dan mengetuk pintu hatiku.
Kamu, semakin aku sadar bahwa keanehan yang aku rasakan dalam diriku bukan karena cinta. Namun karena aku belum setaat dirimu.

Benarkah aku bisa bersamamu? Jikalau langkahku dalam kemurkaan-Nya? Bisakah kamu melangkah bersamaku jika aku masih jatuh dalam jurang dosa? Bisakah aku memimpikan kamu datang dalam hidupku menjadi pelindung diriku dalam janji suci atas nama-Nya sampai aku mati tapi jika aku masih dalam pelukan lalai dan zalim pada diri ini? Ahhh rasanya bagai memeluk air. Aku tak akan bisa.

"Syukurlah... bahkan kepastian masih saja berubah bergantung usaha,"

Aku percayaa... selama kita masih bisa menyadari, memperbaiki, dan memaafkan ketidaksempurnaan diri dalam balutan dosa maka akan ada jalan baru bagi kita. Aku sadar bahwa hasil usaha tak melulu mutlak. Makanya Tuhanku mengajarkanku untuk terus berusaha. Bahkan untuk bersamamu. Yaa kamu...

Kamu yang ada dalam bait doaku, aku yakin Tuhanku telah merajut kisah indah untukku. Aku tak melulu harus bersamamu. Karena aku tahu bahwa aku belum pantas bersamamu. Tunggulah aku... maaf jikalau kamu harus menunggu "si perubahan" ini. Karena aku ingin bisa memilikimu dalam kesempurnaan taatku pada Tuhanku. Terima kasih cermin besarnya.

"Sekiranya kamulah kamuku, maka Tuhan tak ajarkan aku bagaimana seharusnya aku taat pada-Nya. Namun sekiranya kamulah belum menjadi kamuku maka aku akan berusaha dalam ketaatan. Maaf Tuhan... aku tak ingin buat Tuhan cemburu namun Kau tetaplah cintaku. Dan Kau inginkan aku dalam bahagia bersama takdir terbaik-Mu. Ajarkan aku untuk bisa mencintai-Mu (dulu),"

#kisah ini diangkat dari seorang temanku yang jatuh cinta dalam renungan diri.

Sabtu, 01 Agustus 2015

Catatan "ingin belajar"


Catatan "ingin belajar"

"Ketika aku malas, aku ingat bahwa aku akan melahirkan putra/putri hebat dan mereka akan bersama-sama hingga dewasa,"

Catatan ingin belajar ini saya ambil dari kisah teman saya yang sangat bertekad untuk terus belajar demi bekalnya menjadi orang tua yang hebat. Satu kutipan beliau yang saya sukai adalah,

"Seorang perempuan bisa jadi berbie yang sangat cantik, didandani ini itu, tapi bisakah ia nanti menjadi ibu yang sholehah? Bisakah?"

Satu pertanyaan yang membuat kita bercermin diri. Sudahkah kita memikirkan ke arah sana?
Ahh kejauhan... yang di depan mata aja dulu dijalani.
Yaa itu kawan, menjadi seorang ibu adalah hal yang menanti di depan mata kita.
Kita masih muda loh.. masih mau kumpul kesana sini.
Iyaa karena masih muda jadi lebih mudah memahami hal-hal yang baru.
Ahh seriuss ga ketuaan nih bahas tentang emak-emak plus tugasnya yang bejibun?
Yaa ga tuaa. Justru ketinggalan zaman kalau ternyata kita belum memahami kodrat kita sebagai seorang wanita.

Lalu???
Mari kita kembali pada tokoh yang inspiratif, yakni teman saya. Beliau berkata, bahwa menjadi seorang ibu adalah cita-cita yang sangat mulia. Menurutnya inilah titik awal dari sebuah kemajuan agama dan negara.
Loh kok jadi panjang dan merembet ke negara segala. Kan udah jadi urusan bapak jokowi soal negara mah....

Ehmmm kita kembali ke tokoh yaa. Beliau membalikan pertanyaan pada saya,
"Pasti ada dong ibu pak Jokowi?"

"Ada dong!"

"Sama halnya saat kita harus menyadari tentang adanya siti hawa dan adam. Kita belajar bahwa penciptaan mereka adalah untuk memakmurkan bumi dan beribadah pada Allah,"

"Kaitannya gimana nih?"

"Begini... kita bisa saja menarik banyak garis tentang keturunan. Pasti ada sosok ibu. Nah.. sekarang kita telaah baik-baik. Sehebat tokoh Habibie, tokoh Merry Riana, tokoh Oki Setiana Dewi, Pak Susilo dan Bu Ani, lalu mba Dian Sastrowardoyo dan masih banyak lagi tokoh hebat lainnya tentu ada sosok ibu yang menyertai mereka. Tentu ibu yang hebat yang melahirkan generasi hebat,"

"Bukannya setiap anak sama ya?"

"Yaa sama. Setiap anak bagai kertas putih. Ibu yang hebat akan menorehkan tinta akhlak baik pada anaknya. Lalu jika satu ibu mampu menorehkan akhlakul karimah di kertas satu anak lalu bagaimana jika ada puluh jutaan ibu yang melakukan hal yang sama pada anaknya? Maka dari itu posisi seorang ibu bisa mendukung tegaknya negara. Pernah dengar ini "wanita adalah tiang negara," maka jikalau ingin menghancurkan negara maka hancurkanlah wanitanya. Cara mudah memahaminya seperti itu,"

"Subhanallah... lalu bagaimana sekiranya kita yang belum siap memikirkan ke arah sana (menjadi seorang ibu)?"

"Siap atau tidak kita akan menjadi seorang ibu, insyaallah... maka dari itu kuncinya adalah teruslah belajar. Belajar untuk bisa menjadi wanita yang baik. Baik akhlaknya. Baik ucapannya. Baik tingkahnya. Cerdas itu banyak dan bisa diraih siapa saja tapi kalau menjadi ibu yang baik sekolahnya cuma satu, di masa hidupnya. Cantik bisa dibuat dengan banyak teknologi namun menjadi ibu yang sholehah dibuatnya cuma satu cara yaitu dekat dan berdoa sama Allah agar disholehahkan setiap hari. Lalu satu yang paling penting lagi, jikalau kita tak sadar arti hidup kita di masa depan maka kita tak akan semangat belajar. Maka dengan kita sadar akan menjadi apa kita di masa depan kita akan terus dicambuk agar tidak malas. Saya sangat sadar... bahwaa saya akan menjadi ibu bagi anak-anak saya makanya saya akan terus belajar agar anak-anak bangga akan mamanya yang bisa menemani dan mengajarinya banyak hal,"

Dan beliau membuat saya memikirkan sangat jauh ke depan. Tentang arti diri saya dan masa depan saya yang indah menjadi ibu atas anak-anak saya.

Satu pesan beliau untuk kita semua para wanita sholehah,

"Ingatlah saat anak burung ingin belajar terbang dan ibu burung sayapnya patah maka tak sempurna perkembangan burung kecil itu. Begitulah peran kita yang tak dijalankan dengan baik karena kita belum cukup bekal maka yang akan merasakan dampaknya adalah anak-anak kita,"

Semoga kita menjadi ibu yang sholehah. Ammiinn...

*catatan ingin belajar.

Kekuatan doa


Doa

"Selamat atas keberhasilan pencapaian hingga saat ini,"

Kalimat tersebut pasti sering kita dengar ketika keberhasilan atau prestasi yang kita raih. Atas hasil kerja keras yang kita lakukan terus menerus hingga tujuan kita tercapai. Inilah kalimat yang menumbuhkan rasa teramat bahagia atas perjalanan yang dilalui. Tentu bukan jalan yang lurus mulus dalam berjuang. Akan banyak belokan, batu kerikil, tanjakan, turunan yang akan kita lewati. Tak ada yang serba instan. Tak ada yang serba mudah. Mie instan saja butuh waktu 5 menit dalam penyajiaannya. Sama halnya dengan perjalanan hidup kita. Akan ada titik lanjut, titik jatuh, titik berhenti. Tinggal kita memilih mana yang ingin kita tempuh dan menanggung apapun resikonya.

Namun... sejenaklah kita ingat kembali tentang satu kata ini, D O A. Kata yang singkat diucapkan namun dahsyat dampaknya dalam perjalanan hidup kita. Paling sederhana saja, doa kedua orang tua kita. Beliau selalu ucapkan bait doa yang sama dalam waktu yang sama pula. Berharap akan menempuh banyak kebaikan dan keberhasilan bagi putra-putri mereka. Doa keluarga kita. Yang sama bahagianya mereka dalam berdoa untuk kemudahan urusan kita. Lalu diantara kehidupan rupanya selalu ada teman-teman yang baik yang menjadi saksi perjuangan langkah kita. Dan teman yang baik pasti mendoakan teman lainnya agar ditunjukan jalan yang lurus.
Tanpa kita sadari bahwa gerak kita ternyata diiringi doa doa tulus dari mereka yang menyayangi kita. Tanpa kita sadari tak akan majulah sebuah kerangka bus tanpa mesin bus itu. Maka tak akan majulah badan dan ruh ini tanpa doa yang mengiringi.
maka tak ada salahnya ketika ada teman kita berharap, "mohon doanya yaa...." bisa jadi permohonan kita cepat dilaksanakan Allah.
Atau malah kita yang tanpa daya upaya mohon doa restu orang-orang sekitar kita.
Sesungguhnya memang pada Allah adalah tempat kembali dan mohon pertolongan. Dan lewat doa, agar pertolongan atau pun permintaan segera dijemput.

Dan sebagaimana peribahasa, "jangan jadi kacang yang lupa kulitnya," jangan jadi orang yang lupa pada kebaikan orang lain. Bukan hanyaa bala bantuan namun bala doa pun sangat berharga.

Ya Allah... sayangilah kedua orang tuaku, sayangi guru-guruku. Sayangi teman-temanku, sayangi orang-orang yang sudah ada dihidupku.
Panjangkanlah umurnya, mudahkanlah rezekinya, mudahkanlah urusannya,
Ikatkan kami dalam persaudaraan yang kuat.

Untuk itulah Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong. Karena tak ada yang bisa dimiliki manusia selain amal perbuatannya. Dan tak ada yang bisa dibanggakan ketika kita sadar bahwa kita adalah makhluk yang lemah. Hanya kepada Allah kami meminta dan mohon pertolongan dalam untaian doa.

*catatan ini saya tulis dalam keadaan syukur tiada tara karena adik perempuanku akan menempuh pendidikan universitas negeri jakarta jurusan pendidikan luar biasa.
Jurusan favoritku.
Terima kasih ya Rabb...