Jalan Baru
"Dalam hidup kadang tamparan keras memang diperlukan. Namun tamparan hanya akan menjadi memar apabila tak ada tangan lembut yang mengelus setelahnya. Tamparan akan menjadi pelajaran apabila setelah itu ada sepasang tangan yang memeluk kepedihan yang muncul,"
Blog ini aku persembahkan untuk dosen pertamaku. Dosen yang telah mengajariku untuk menemukan jalan baru.
Kisah ini berawal dari 5 tahun lalu. Saat aku bertemu beliau dalam acara promo beasiswa luar negeri. Beliau ada di hadapanku sebagai pembicara bagi ratusan undangan lainnya. Setengah hati aku langkahkan kaki ke acara itu. Karena buat apa? Mau dikasih refrensi kuliah apapun tetap saja keluargaku belum punya cukup tabungan untuk aku kuliah. Kalau ditanya soal beasiswa, ingin rasanya bisa mendapatkannya. Apa daya beasiswa yang aku dapatkan jauh di kota sana. Yang menambah kekhawatiran kedua orang tuaku jika aku berpisah dengan mereka. Langkahku masih gontai saat aku harus duduk di barisan paling depan panggung. Suntikan-suntikan motivasi pelan-pelan masuk ke dalam otakku. Kata motivator itu,
"Taklukan dunia maka dunia ada dalam genggamanmu,"
Sihir apa yang ada dalam kata-kata itu hingga aku menatapnya lebih lekat dari sebelumnya.
Setelah acara selesai aku ke belakang panggung dan menghampiri satu ruangan khusus pengisi acara. Ada beberapa panitia yang berjaga.
"Maaf kak, saya mahasiswi bimbingan bapak motivator tadi. Saya sudah ada janji revisi dengan beliau," kataku berbohong. Aku diizinkan masuk.
Entah apa lagi ini. Untuk apa aku menemui orang asing yang baru aku jumpai beberapa jam lalu.
Langkahku pelan sambil ku sebut satu nama,
"Pak!" Kataku pelan.
Senyum ramahnya mencairkan kegelisahan nekatku yang harus masuk dalam ruangan itu.
"Saya Eka Nurwati, saya siswi SMA kelas 3 boleh saya bicara dengan bapak,"
"Tentu saja," balasnya ramah.
Dengan keyakinan aku rangkai kata demi kata untuk bisa mengungkapkan beban yang aku rasakan. Sesekali aku harus menyeka air mataku yang turun.
"Saya tau pak, ini bukan hanya soal lanjut sekolah tapi soal biaya dan kemampuan keluarga saya. Ada harapan tertumpu pada saya namun saya tak kuasa jikalau memang pada akhirnya kuliah adalah cuma mimpi saja. Kuliah kan ga murah pak," kataku terisak.
Iyaa menanggapi ceritaku dengan baik. Sesekali ia bertanya soal jurusan dan minatku.
"Pendidikan biologi atau ga sastra indonesia pak," jawabku yakin.
Lalu ia rangkum semua yang aku ungkapkan pada saat itu,
"Kamu tau mata elang? Jikalau ia tak tajam maka ia tak bisa terbang setinggi itu. Saya tau bagaimana beratnya saat mimpi kita ternyata didukung dengan uang. Saya adalah mantan preman terminal kampung rambutan. Saya bisa kuliah karena hasil dari jerih payah saya memarkirkan bis-bis di terminal. Saya tak ada niat kuliah. Tapi kalau kamu sudah ada rencana. Itu lebih baik. Saya hanya ingin kamu tetap kuliah. Apapun susahnya. Apapun repotnya. Kamu bisa bekerja agar semuanya mudah," katanya.
Pada saat itu mataku mereda. Fikiranku terbuka walau sedikit. Yaa bekerja. Yaa hanya itu yang bisa jadi jawaban dari semua khawatirku.
"Maaf kak, saya harus pergi. Ini kartu nama saya. Saya harap kamu hubungi saya," katanya yang terburu-buru.
Dia pergi dengan meninggalkan secarik kartu nama. Yang aku ingat hanyalah soal mata elang tadi. Soal terbang tinggi. Kalimat itu yang buat saya yakin bahwa harus ada keputusan.
5 bulan berlalu. Saat kelulusan. Saat itu aku lihat banyak lembaran brosur dengan harga kuliah "astaga". Lalu aku ingat, aku hubungi saja nomor yang tertera dalam kartu nama.
"Assalamu'alaikum pak apa kabar?"
"Wa'alalaikumsalam. Kabar baik kak. Kamu sehat? Oh yaa bapak ingin kamu datang ke tempat mengajar bapak di pal merah. Bapak ingin membiayai kamu kuliah disini."
Seperti pelangi yang hadir dalam badai seperti angin segar dalam kekeringan. Aku berangkat dan menemui beliau di kampus teknologi dan terkenal di jakarta.
"Iyaa kamu bisa ambil jurusan yang kamu mau, kamu bisa tinggal di belakang kampus. Ada apartemen di sana. Biaya saya yang cover semua," katanya.
Aku hanya terdiam menikmati megahnya kampus impian ini. Sampai aku disodorkan biaya untuk kuliah sebesar 60 juta di muka.
"Masyaallah," kagetku.
Aku berfikir panjang. Bahkan sangat lama untuk bisa memutuskan. Hanya mereka yang tidak bersyukur paling yang bisa menolak biaya kuliah gratis.
Yaaa akulah orangnya.
"Pak.. saya senang bisa kuliah disini tapi saya tak sanggup kalau pada akhirnya saya harus merepotkan bapak yang menjadi dosen disini. Saya mau berusaha sendiri pak," keputusanku bulat.
Dia menerima keputusanku. Tapi tetap dengan niat tulus yang sama. Nanti kalau kurang dan butuh buku hubungi bapak ya.
Beberapa bulan setelah itu, aku bekerja di daerah Jakarta. Aku sisihkan 3 bulan gajiku untuk bayar kuliah di tempat pilihanku. Dengan senangnya aku kabari beliau jikalau aku sudah awal berusaha. Jawabannya singkat jikalau ada apa-apa hubungi beliau saja.
Bertahun-tahun berlalu sampai aku sudah semeseter 4 dan kunikmati setiap usaha kerjaku dan kuliahku. Aku bertemu beliau pada kesempatan di gedung metro tv.
Dan sejak pertama aku bertemu aku ingin bertanya, "kenapa bapak mau membantu saya?"
"Kamu ingat saat saya buru-buru pergi kak, saya bilang kita akan ketemu lagi saat kamu sudah sarjana. Saya yakin itu kak, saya mau membantu kamu tapi kamu tetap kamu bisa dari dulu kamu sudah temukan jawabannya. Kamu bisa!" Katanya yang meyakinkan.
Ramahnya. Sabarnya. Sederhanyanya. Yang buatku beruntung mengenalnya. Ya dialah dosen pertamaku. Bahkan sebelum aku masuk universitasku. Beliau yang memberiku cahaya baru saat itu. Hingga hari ini, beliau tetap memantauku dari jauh. Menanyakan kabarku, kerjaanku, nilai kuliahku. Hingga diujung kalimat selalu "kalau butuh apa-apa buat kuliah bilang ya,"
Saya paham pak sekarang. Kenapa saya harus berbohong kepada panitia hanya untuk menemui bapak. Kenapa langkah saya tetap tergerak ingin menemui bapak padahal bapak adalah orang asing. Dan saya paham pak kenapa bapak ada dalam daftar inspirasi di kamar saya. Karena semangat bapak hingga melanjutkan S3 bapak. Bapak buat saya punya satu harapan lagi saat saya lelah dengan kuliah saya. Saat saya capek buat bekerja supaya biar bisa bayar cicilan semesteran. Bapak yang mencontohkan bagaimana caranya. Bertekad berusaha sendiri karena kita masih mampu.
Saya masih ingin bertanya pak, "benarkah Allah sangat adil?" Ya pertanyaan itu yang saya lontarkan saat bertemu 5 tahun lalu.
"Allah adil pak. Sangat adil. Saat ada tamparan dalam hidupku artinya aku harus sadar. Dan melihat sekililingku yang mendukungku,"
Bapak adalah pak Besar. Sederhana namanya. Namun telah berpengaruh dalam hidup saya. Saya anggap bapak adalah kakek saya. Usia bapak menjelang 50 tahun namun bapak telah mebambah rasa kagum saya.
Saya ingin mengundang kamu ka, dalam acara wisuda saya. Saya berharap kamu tidak menolak. Saya ingin kamu ada diantara hadirin di depan saya. Saya ingin ucapkan terima kasih kepada kamu. ...
Tetaplah menjadi kebanggaan ayah ibumu. Tetap menjadi orang sukses dimanapun dan kapanpun. Kesulitan kali ini adalah kemudahan nantinya.
Salam hangat.
Besar
Ya Allah... akulah yang ingin berterima kasih.
"Terima kasih, sayangi beliau," doaku.