Surat Dunia
"Kadang kita tak memiliki semuanya, tapi kita berlatih untuk bersyukur apa yang ada,"
Sepenggal kalimat itu aku rangkai setelah menemani satu muridku mencoba pianika. Seorang anak begitu antusias saat mencoba hal yang baru. Begitupun Akbar, begitu antusias menekan tuts demi tuts pianika. Berbeda sekali saat satu jam yang lalu. Ia tampak lesu tidak bersemangat di pelajaran.
Satu jam yang lalu, aku bersama muridku belajar nada dan birama. Salah satu alat peraga yang bisa mendukung adalah pianika. Aku bunyikan pianika tuts demi tustnya. Dari nada Do tinggi hingga Do rendah. Lalu berbalik dari Do rendah ke Do tinggi. Lalu anak-anak mengikuti dengan suara yang semakin tinggi,
"Do... Re...Mi...Fa...Sol...La...Si...Do...,"
Semua serius menyimak. Namun satu sudut di kelas yang terdiam. Matanya menatap ke luar jendela, memikirkan sesuatu. Suara nada pianika dan nada dari teman-temannya tak mengusiknya.
"Akbar... kamu kenapa sayang?" Tanya ku pelan.
Ia hanya menggeleng dan mulai menatap ke arahku. Mulai memperhatikan lagu demi lagu yang aku contohkan dengan pianika. Karena lagu itu akan menjadi bahan materi untuk praktek Seni Budaya.
"Nanti not angkanya bisa dipraktekan di rumah ya.... minggu depan kita coba bersama-sama untuk memainkannya," aku yang antusias.
"Yes yes yes bawa pianika," kata Deska kegirangan.
Dan yang anak kecil sukai adalah belajar hal-hal yang baru. Dengan alunan musik menjadi daya tarik anak untuk menyukai belajar dan materi pembelajarnnnya. Satu persatu saling membicarakan pianika milik mereka. Selain itu membicarakan lagu-lagu yang mereka bisa. Tergambar jelas bahwa mereka menyukai saat dimana musik bisa jadi belajar bagi mereka.
"Bu..."
Satu sapaan untukku.
"Bu... harus bawa pianika ya?" Tanyanya pelan.
"Hmmm.... aku ga punya pianika bu," katanya kebingungan.
Sambil ku dekati ia, ku sentuh pundakknya dengan yakin.
"Hmm engga apa-apa nanti kita bisa coba keyboard sekolah untuk belajar," kataku yakin.
"Engga mau bu... beda bu caranya," pertimbangannya.
"Sama saja, untuk nada yang digunakan, cara menekan juga sama Akbar," jelasku.
Ia terdiam. Menatapku lama. Dengan sabar aku menanti respon sealnjutnya.
"Bu jangan bawa pianika ya?" Pintanya.
Aku memintanya untuk duduk di sampingku. Aku keluarkan seperangkat alat pianika.
"Coba kamu tekan satu nada saja,"
Akbar menekannya ragu-ragu.
"Ting..."
"Coba tekan 2 nada,"
"Ting... ting..."
Ia tersenyum takjub. Sambil keheranan mencoba pianika, ia mulai menekan tuts-tutsnya.
"Ting.... ting... ting..."
Senyumnya berubah menjadi tawa. Akbar asyik menekan pianika. Nada demk nada ia coba sekaligus nada lagu yang aku contohkan. Jemarinya lebih handal dari sebelumnya.
"Bu.... seru bu..." pengakuan Akbar.
"Iya silahkan latihan untuk minggu depan ya," kataku.
Hingga waktu istirahat selesai. Akbar masih menekan pianika. Melatih satu demi satu demi satu lagu.
"Bu.. engga apa-apa yaa saya main ini lama? Saya engga punya pianika bu," katanya.
"Boleh," izin dari ku.
Setelah puas berlatih, Akbar datang padaku untuk mengembalikan pianika. Dengan senyum tipisnya, kemudian ia menyodorkan pianika padaku.
"Bu ... terima kasih, meski saya tidak ada pianika tapi saya bisa latihan juga bu. Nanti saya beli pianika Bu, tapi nanti kalau Ayah dagangannya laris buanyak.... banget..." katanya.
"Ammiin.. Ibu doakan supaya Ayah Akbar dagangannya laris banyak.... banget...," ucapku antusias.
Berbesar hati. Saat sekeliling kita memiliki segalanya kemudian menengok ke diri kita, satu hal yang kita utamakan "bersyukur". Keadaan orang lain membahagiakan memang tapi dengan kita bahagia atas lebih nikmat rasanya. Dari Akbar, aku belajar untuk meningkatkan rasa syukur dan penerimaan. Apapun keadaannya. Kita wajib berusaha, biarkan semua bekerja hasilnya dengan sendirinya. Terima Kasih, atas hari ini.
Muhammad Nur Akbar
Selepas Istirahat,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar