Jumat, 31 Oktober 2014

Berbesar Hati

Surat Dunia

"Kadang kita tak memiliki semuanya, tapi kita berlatih untuk bersyukur apa yang ada,"

Sepenggal kalimat itu aku rangkai setelah menemani satu muridku mencoba pianika. Seorang anak begitu antusias saat mencoba hal yang baru. Begitupun Akbar, begitu antusias menekan tuts demi tuts pianika. Berbeda sekali saat satu jam yang lalu. Ia tampak lesu tidak bersemangat di pelajaran.

Satu jam yang lalu, aku bersama muridku belajar nada dan birama. Salah satu alat peraga yang bisa mendukung adalah pianika. Aku bunyikan pianika tuts demi tustnya. Dari nada Do tinggi hingga Do rendah. Lalu berbalik dari Do rendah ke Do tinggi. Lalu anak-anak mengikuti dengan suara yang semakin tinggi,
"Do... Re...Mi...Fa...Sol...La...Si...Do...,"

Semua serius menyimak. Namun satu sudut di kelas yang terdiam. Matanya menatap ke luar jendela, memikirkan sesuatu. Suara nada pianika dan nada dari teman-temannya tak mengusiknya.

"Akbar... kamu kenapa sayang?" Tanya ku pelan.

Ia hanya menggeleng dan mulai menatap ke arahku. Mulai memperhatikan lagu demi lagu yang aku contohkan dengan pianika. Karena lagu itu akan menjadi bahan materi untuk praktek Seni Budaya.

"Nanti not angkanya bisa dipraktekan di rumah ya.... minggu depan kita coba bersama-sama untuk memainkannya," aku yang antusias.

"Yes yes yes bawa pianika," kata Deska kegirangan.

Dan yang anak kecil sukai adalah belajar hal-hal yang baru. Dengan alunan musik menjadi daya tarik anak untuk menyukai belajar dan materi pembelajarnnnya. Satu persatu saling membicarakan pianika milik mereka. Selain itu membicarakan lagu-lagu yang mereka bisa. Tergambar jelas bahwa mereka menyukai saat dimana musik bisa jadi belajar bagi mereka.

"Bu..."

Satu sapaan untukku.

"Bu... harus bawa pianika ya?" Tanyanya pelan.

"Hmmm.... aku ga punya pianika bu," katanya kebingungan.

Sambil ku dekati ia, ku sentuh pundakknya dengan yakin.

"Hmm engga apa-apa nanti kita bisa coba keyboard sekolah untuk belajar," kataku yakin.

"Engga mau bu... beda bu caranya," pertimbangannya.

"Sama saja, untuk nada yang digunakan, cara menekan juga sama Akbar," jelasku.

Ia terdiam. Menatapku lama. Dengan sabar aku menanti respon sealnjutnya.

"Bu jangan bawa pianika ya?" Pintanya.

Aku memintanya untuk duduk di sampingku. Aku keluarkan seperangkat alat pianika.

"Coba kamu tekan satu nada saja,"

Akbar menekannya ragu-ragu.

"Ting..."
"Coba tekan 2 nada,"

"Ting... ting..."

Ia tersenyum takjub. Sambil keheranan mencoba pianika, ia mulai menekan tuts-tutsnya.

"Ting.... ting... ting..."

Senyumnya berubah menjadi tawa. Akbar asyik menekan pianika. Nada demk nada ia coba sekaligus nada lagu yang aku contohkan. Jemarinya lebih handal dari sebelumnya.

"Bu.... seru bu..." pengakuan Akbar.

"Iya silahkan latihan untuk minggu depan ya," kataku.

Hingga waktu istirahat selesai. Akbar masih menekan pianika. Melatih satu demi satu demi satu lagu.

"Bu..  engga apa-apa yaa saya main ini lama? Saya engga punya pianika bu," katanya.

"Boleh," izin dari ku.

Setelah puas berlatih, Akbar datang padaku untuk mengembalikan pianika. Dengan senyum tipisnya, kemudian ia menyodorkan pianika padaku.

"Bu ... terima kasih, meski saya tidak ada pianika tapi saya bisa latihan juga bu. Nanti saya beli pianika Bu, tapi nanti kalau Ayah dagangannya laris buanyak.... banget..." katanya.

"Ammiin..  Ibu doakan supaya Ayah Akbar dagangannya laris banyak.... banget...," ucapku antusias.

Berbesar hati. Saat sekeliling kita memiliki segalanya kemudian menengok ke diri kita, satu hal yang kita utamakan "bersyukur". Keadaan orang lain membahagiakan memang tapi dengan kita bahagia atas lebih nikmat rasanya. Dari Akbar, aku belajar untuk meningkatkan rasa syukur dan penerimaan. Apapun keadaannya. Kita wajib berusaha, biarkan semua bekerja hasilnya dengan sendirinya. Terima Kasih, atas hari ini.

Muhammad Nur Akbar
Selepas Istirahat,

Kamis, 30 Oktober 2014

Belajar (lagi)

Surat dunia.

"Namanya Deska Deningrum, salah satu penguji kesabaranku."

Kalau kita berhadapan dengan anak kecil, satu yang melekat dari mereka yaitu "ga sabaran". Yaaa... mereka dengan tingkat keingintahuan yang tinggi menjadi tidak sabar untuk mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka. Sama halnya dengan satu muridku, Deska. Deska adalah satu murid bersyarat yang naik kelas ke kelas 2. Karena masih perlu latihan dan belajar lagi dalam pemahaman dan menulis. Satu hal yang buat aku greget adalah saat dia mulai tidak sabar menghadapi pelajaran sekolah. Apalagi saat harus menjawab pertanyaan demi pertanyaan soal latihan. Satu suara yang tidak asing adalah seperti ini bunyinya,

"Bu... ini gimana??? Aku ga ngerti," merengek sedih.

Memang setiap ulangan dan latihan soal yang satu ini perlu pendampingan. Makanya aku tidak pernah jauh darinya untuk memastikan bahwa "everything is ok".
Dan terkadang juga saat pendampingan untuk pemahaman soal tambah gregetnya. Deska lebih sering cengengesan dan senyum sendiri tanda engga paham kali ya. Lalu ketika menulis jawaban, beberapa huruf ada yang tertinggal. Saat itu juga aku bimbing untuk perbaiki tulisannya. Memberitahu bahwa ada beberapa huruf yang tertinggal. Namanya anak kecil, saat dikoreksi malah marah.

"Ibu iyaaa aku tahu, nanti aku tulis"

"Ibu jangan kasih tau aku terus, aku juga tau bu"

Aku? Ngelus dada dan langsung istighfar. Mungkin aku yang harus amat sangat sabar. Dosenku, Bu Ana pernah berkata begini,

"Ibarat kesabaran itu bagai samudra maka ia akan menenggelamkan amarah,"

Bagaimanapun Deskaku, dia tetap anak yang manis. Ketika aku sedang duduk lelah, ia datang memelukku. Ketika aku datang ke sekolah, ia datang menghampiri parkiran motor untuk mengucapkan "selamat pagi" padaku, dia adalah anak yang paling cepat mengumpulkan tugas, paling antusias menulis, walau kata demi kata masih tertinggal. Deskaku tetaplah anak yang manis, setiap aku lihat deretan angka nilai ulangan atas namanya terbesit satu semangatnya untuk belajar. Walau kenyataannya hanya mendapat 50 tapi dia membuatku belajar lagi. Belajar lagi. Belajar lagi untuk bisa jadi yang terbaik baginya.
Pernah di satu waktu aku pandang senyumnya kala pagi, saat aku dan dia menyiram tanaman di sekolah, ada satu keyakinan kuat dan keinginan besar dalam dirinya untuk bisa layak naik ke kelas 2. Walau saat ini masih naik bersyarat. Dan aku tetap bahagia untuk Deskaku dan 18 murid hebat lainnya.

Terima kasih ya Rabb.

#challange 2

Rabu, 29 Oktober 2014

T.E.A.C.H.E.R

Surat dunia.

"Biarlah apa yang kamu tulis bekerja sendirinya,"

Dua tahun lalu, di cover file favoritku aku mencatat sebuah kalimat,

"Eka harus jadi guru."

Setiap kali aku buka file itu, selalu aku baca kalimat yang . Semakin sering aku buka, maka semakin sering juga aku ulang kalimat itu. Semakin sering diulang maka semakin aku mengingat kalimat itu. Semakin aku ingat, semakin aku tahu kemana aku harus melangkah. Apa yang harus aku lakukan, perjuanganku, pengorbananku dan apapun pembelajaranku untuk bisa menjadi seorang guru yang baik.

Dua tahun lalu juga, aku mencoba dari hal yang paling kecil. Aku kembali di sebuah majlis taklim tempatku dulu menimba ilmu selama 6 tahun disana. Al-Usman Mashuri adalah tempat pertama yang percaya padaku untuk bisa berbagi pengetahuan. Awalnya hanya sebuah keberanian. Dengan yakinnya aku mengajukan diri bertemu dengan pengelolanya.

"Saya ingin jadi guru pak, untuk itu saya harus banyak latihan."

Sejak saat itu, duniaku berubah. Sedikit berbeda dari biasanya. Dulu aku lebih suka bersantai di rumah atau berkutat dengan tugas sekolah. Tapi setelah pulang sekolah, aku langsung ke majlis bertemu dengan anak-anak pengajian. Satu-satunya yang bisa aku andalkan adalah berdongeng. Yaa.... itu yang selalu mereka tunggu dariku. Mungkin karena aku hobby menulis cerita jadi ide alur cerita selalu ada. Mulai dari dongeng bahasa sunda, hingga bahasa inggris aku lakukan. Alat peraga pun aku gunakan. Paling ku suka adalah saat aku dan anak-anak bermain boneka kaos kaki. Yaaa .... boneka yang kini masih aku simpan sebagai salah satu ikhtiarku hingga saat ini. Meski aku hanya mengajar selama 3 bulan tapi aku punya pondasi yang bisa jadi modal paling berharga yang pernah aku miliki. Setelah lulus SMA, aku meninggalkan majlis untuk bekerja di sebuah lembaga pendidikan informal. Ilmuku semakin bertambah setiap harinya. Mentalku diuji untuk bisa menjadi quality control pendidikan disana. Semakin hari aku semakin didewasakan dengan tanggung jawab. Justru inilah betapa aku sangat berterima kasih pada kesempatan Allah padaku. Berterima kasih pada sebuah penolakan demi penolakan atas kemampuanku. Karena aku semakin ingin diterima di kondisi terbaik tentunya. Aku berterima kasih atas kesempatan ikut memikirkan kecerdasan anak sekaligus tekanan dari para orang tua yang berharap terbaik pada anaknya. Aku berterima kasih atas tim kerja yang begitu baik dan membimbingku sabar dan teratur. Dan aku ingin berterima kasih atas kesempatan pertemuan bersama murid-murid disana yang kisahnya tidak pernah lupa aku catat dalam blog atau fileku.

Sungguh..... jika aku ulang lagi masa itu, sudah berapa banyak aku memiliki kesempatan belajar. Ilmu yang tak bisa aku tebus dengan uang dan material dunia, ilmu yang bisa mengiringiku hingga bisa ke jenjang formal hingga saat ini.

Terbesit satu keinginan yang aku katakan pada mama,

"Aku ingin mengajar di sekolah formal mah,"

Dan Allah yang baik yang mempermudah itu. Sungguh.... apa yang pernah aku jalani adalah proses yang bisa mendampingiku hingga sekarang. Dan aku sangat bersyukur, Allah mudakan aku dalam segi usia tapi Allah menyayangiku dalam segi proses kehidupan.

Bismillah.... langkah ini masih jauh. Tapi Allah selalu dekatkan itu sehasta demi sehasta. Hingga saatnya aku bisa memberikan sekolah gratis untuk anak jalanan dan para pemulung. Semuanya sudah kutulis di "Dream book" kelak semua persis seperti target. Terima kasih atas kesediaannya membaca blog demi blogku. Ini satu post bukan untuk menyombongkan, tapi sedang menyusun keberanian untuk bisa bermimpi dan pembuktian terus.

Sabtu, 25 Oktober 2014

Mata hati

Surat dunia.

Adakalanya kita belajar untuk melunakkan hati. Belajar untuk menatanya dengan baik dan semakin baik (lagi).

Selepas

Surat Dunia.

Aku melihat satu senyumannya selepas mimpi telah terlaksana. Bagaimanakah perasaanku saat itu? Aku seperti bisa memeluk luasnya langit dengan hiasan keindahannya. Suatu hari nanti, akan ada saat dimana kapanpun senyum itu ada hanya untukku. Untuk berhasilnya mimpi kita.

Tengah malam.

Selasa, 21 Oktober 2014

Mine

Aku titipkan semuanya pada penciptaku. Biar Dia yang menjaga. Karena tak ada yang bisa kita miliki seutuhnya.

Senin, 20 Oktober 2014

My prayer

Surat Dunia
Saat itu ada yang punya mimpi untuk bisa pergi keliling Indonesia. Lalu dilanjut dengan perjalanan Eropa. Pada saat yang sama, aku pun ingin bisa menyapa seluruh dunia dengan kata demi kata dalam sebuah buku. Tetap menjadi pribadi yang hangat. Dan bersaudara sebanyak-banyaknya. Semoga ada kesempatan untuk bisa terus pembuktian.

Mata 5 watt
Kamar tercinta

Minggu, 19 Oktober 2014

Akan ada .....

Dear ......

Di luar sana akan ada banyak perempuan yang lebih cantik dariku. Akan ada yang lebih cerdas, lebih menarik dan lebih kaya dariku. Namun aku ingin pastikan, bahwa aku akan menemanimu sampai kapanpun. Tak ada batas waktu. Dan kita buat mimpi kita semakin nyata. Karena bersamamu aku  tak pernah takut bermimpi dan bumi bagai butiran kecil yang kita pijak.

Sekolah masa depan

Ya Rabb....
Salah satu pertemuan adalah kesan mendalam. Ya Rabb.... bolehkah Kau izinkan aku dengan kesempatan untuk selalu bertemu dan dipertemukan dengan mereka. Ya Rabb.... haruskah aku menjadi orang yang sangat kaya raya untuk bisa berbagi dengan mereka? Ya Rabb.... segerakan Kau wujudkan satu persatu mimpiku, aku ingin terus sehat, mencapai puncak mimpiku. Sekolah masa depan untuk mereka.

Tak Perlulah

Kadang kita ga perlu bersusah payah mencari yang persis sama kayak kita. Ga ada dalam catatan Allah bahwa Dia menakdirkanmu dengan orang yang mirip bahkan sangat persis denganmu. Tak perlulah.... kita buang energi kita untuk mencari yang belum tentu itu bisa bersama kita selamanya. Biarlah Allah yang mempertemukan kita dalam pertemuan-pertemuan saling mengisi kekurangan masing-masing. Jika kesempurnaan membuatmu bahagia lalu apa artinya saling melengkapi? Saat ada satu ruang kelemahan kita isi bersama. Tenanglah..... perempuan ini sadar arti "sempurna" hanya milik Rabb-nya.

Jumat, 17 Oktober 2014

Terkadang,

Surat Dunia.

Kadang keadaan bisa berubah dalam hitungan detik saja. Bisa saja kita terjungkal bahkan terpelanting jauh dalam waktu sebentar. Dan haruskah kita mundur? Kadang kita jugalah yang harus jadi satu-satunya orang yang menerima. Jadi ke satu yang harus ikhlas menerima. Jika ini bagian dari penggugur dosa, semoga aku masih kuat dan selalu kuat untuk tetap bertahan.

Rabu, 15 Oktober 2014

Surat Untuk Mama


Surat kepada Ibunda ini tak dimaksudkan untuk memberitahu beliau apa yang kita rasakan. Besar kemungkinan, beliau mengerti yang selama ini kita pendam.

Surat ini ditulis demi mengurai isi kepala kita sendiri. Demi mengurangi rindu yang ada di dada kita.

Selamat membaca.

 

Halo Ma,

Apa kabar?

Ah, rasanya ganjil sekali melontarkan itu. Kita satu rumah, namun jarang kutanyakan kabarmu. Anak macam apa aku ini. Makanan yang kau sediakan di atas meja tak lantas membuatku peduli kabarmu saban hari. Maaf ya, Ma.

Ma,

Mungkin kita jarang berbicara. Saat membuka mulut pun, hanya adu argumen yang ada. Rasanya susah sekali menahan diri. Apapun yang ada di kepala, aku lontarkan semua. Begitu terucapkan, aku hanya bisa menyesal.

Mama mungkin sudah biasa. Menghadapi ego dan kesoktahuan anaknya. Dari dulu, pikirmu. Tidak apa-apa. Engkau tersenyum, dan te

Mamaku yang cantik,

Apa aku boleh bertanya? Bagaimana bentukku saat aku keluar dari rahimmu? Aku penasaran, Ma. Hanya bisa kubayangkan sakitnya. Dari situ pikiranku melanglang: ketika 9 bulan membawaku, hal-hal ganjil apa saja yang kulakukan terhadapmu? Bagaimana perasaanmu ketika tahu rasa sakitmu sebagai ibu tak hanya kau derita saat melahirkan saja? Dari situ aku bisa mengerti, betapa sabar dirimu selama ini.

Tapi harus kuakui. Kadang memang aku heran pada sikapmu. Mama pernah marah-marah ketika aku main ke rumah teman sampai jam 10 malam. Mama sibuk meneleponku untuk pulang, padahal aku sudah bilang berkali-kali bahwa aku aman.

Aku tahu Mama takut terjadi apa-apa denganku di jalan. Tapi tenanglah, Ma. Aku pasti bisa menjaga diri. Bukankah Mama sendiri yang mengajarkan aku untuk berani? Mungkin memang sulit Mama percayai, tapi aku sekarang sudah besar. Sudah tahu bagaimana melindungi diriku sendiri di jalan. Mama ingat pernah menasihati supaya aku pandai berteman? Nah, kini aku punya teman-teman yang bisa kuandalkan ketika aku pulang terlalu malam.

 

Ma, sebenarnya ada banyak hal yang ingin kusampaikan. Tapi aku terlalu malu untuk mengatakannya langsung. Aku takut melihatmu menangis. Aku tidak tahan melihat air matamu keluar. Apalagi ketika aku harus pergi ke tempat yang jauh dari rumah.

Saat aku hendak berkelana sementara, Mama membuktikan perhatian dengan mempersiapkan barang bawaan untukku. Sayangnya, terkadang aku sendiri bingung barang-barang itu harus aku apakan.

“Ini mama siapin selimut. Bawa ya!”

“Aduh, ntar beli aja di sana. Berat tauk ma!”

Aku masih ingat itu. Aku menolak barang-barang yang sudah kau siapkan untukku. Hanya ketika mau berangkat, aku mengangkutnya ke bagasi. Dengan berat hati, dan separuh mencak-mencak tak mengerti.

Namun saat jauh, aku rindu padamu. Ah…Untunglah ada barang-barang ini. Kupeluk saja selimut yang Mama siapkan. Aku tidak jadi kedinginan.

Ma,

Bolehkah aku bertanya tentang impianmu saat muda dulu? Ketika umur 5, 10, atau seumurku, cita-cita apa yang sebenarnya Mama gantungkan? Dokterkah, layaknya anak-anak pada umumnya? Atau malah Mama punya cita-cita yang lebih unik, seperti fotografer dan penulis buku?

Maaf ya Ma, gara-gara aku, Mama harus berhenti mengejar impian masa kecil Mama. Karena keberadaanku, Mama harus rela mengambil apapun kesempatan berkarya yang ada, dan bekerja 2 kali lebih keras dari seharusnya.

Ya,

Aku melihatmu sebagai seorang pekerja keras. Bahkan tugas-tugas rumahan sebenarnya menyedot banyak tenaga dan waktu luang. Pagi-pagi sekali, Mama harus bangun untuk memasak sarapan. Selanjutnya, Mama harus menyiapkan peralatan sekolahku. Mama harus mengantarku ke sekolah, berbelanja agar di rumah ada yang bisa dimakan.,,

Kadang, kalau aku sedang rajin aku akan berusaha membantumu semampuku. Tapi Mama pun tidak selalu memperbolehkanku membantu. “Sudah belajar, belum?” tanyamu.

Iya, Mama banyak bertanya. Pertanyaan Mama pun sebenarnya selalu sama: “Sudah makan belum?”, “Sudah sholat?” Kalau aku menjawab “belum”, nada bicaramu langsung berubah dan sifat cerewetmu mulai keluar. “Ah, Mama ngoceh terus! Kalau belum sempat gimana dong, Ma?” Hanya itu jawaban yang keluar dari mulutku. Pusing rasanya mendengar ocehan Mama. Mama tidak tahu ‘kan, saat Mama menelepon aku sengaja menjauhkan ponselku dari telinga karena bosan mendengar ocehan Mama? Maaf ya, Ma.

Di saat aku jauh dari rumah, banyak hal yang aku lakukan tanpa sepengetahuan Mama. Ada beberapa hal yang kutahu tak boleh aku langgar, namun tetap aku lakukan. Harus kuakui, ketika melakukannya, aku terhibur dan sedikit bangga.

Aku jahat ya, Ma? Aku anak pembohong. Mama masih mau menyayangi anak pembohong sepertiku?

Ma,

Tahukah kalau aku sangat takut untuk memperkenalkan calon menantumu? Aku takut Mama tidak setuju dengan pilihan hidupku. Takut Mama kecewa jika nantinya aku gagal dalam pernikahanku. Tidak ada rasanya yang lebih mengintimidasi dari ucapan “Ma, kenalin: ini calon menantu Mama.”

Senyummu membuyarkan kegelisahanku.

“Kamu senang sama dia? Sudah yakin? Yang penting itu kebahagiaanmu sendiri.”

Ma, wajahmu mulai menua. Mulai ada keriput disana, membuatku sadar ragamu tidak sekuat dulu. Penyakit mulai mengerogoti tubuhmu. Aku pun pernah harus melihatmu terbaring di atas tempat tidur. Tapi kau malah tetap tersenyum dan menanyakan apa aku sudah makan.

(Ma, tenang! Aku sudah makan!)

Izinkan aku mengatakan sesuatu yang belum sempat kusampaikan langsung. Aku tidak tahu kapan kita akan berpisah. Ada saatnya, aku akan mengantarkanmu ke tempat peristirahatan terakhirmu. Atau mungkin saja Mama yang mengantarkanku. Apapun akhirnya, akan ada saat dimana kita berdua harus rela. Kapanpun itu, hanya Yang Disana yang tahu. Aku hanya ingin mengingat bahwa kita pasti kembali bertemu.

 


Mama, Ibu, Ibundaku…

Terima kasih sudah memutuskan memilikiku. Terima kasih sudah memperkenalkanku pada dunia. Terima kasih sudah mengajarkanku apa arti perjuangan.

Maafkan anakmu ini: yang selalu membuatmu was-was, yang selalu bertindak semrawut, yang tak cukup sering menyapu rumah…ah!

Aku hanya bisa berharap untuk terus bisa memberikan yang lebih baik lagi untukmu. Secerewet apa pun dirimu, Mama tetap wanita nomor satu bagiku.

Aku tidak bisa memilih siapa yang menjadi ibuku. Mama pun tak tahu anak seperti apa yang akhirnya lahir dari rahim Mama. Tuhan yang mempertemukan kita.

Aku bersyukur bisa berkenalan dengan Mama. Tersenyumlah, Ma,

 

Penggemar beratmu nomor satu,

Anakmu.

Kamis, 09 Oktober 2014

Arti penerimaan

Surat Dunia.
Jujur, paling semangat saat ada yang punya semangat lebih dari kita. Semangat itu tertular, dan makin ketularan kalau dekat dengan orang tersebut. Dan kali ini, aku bagi cerita semangatnya adik kelasku dan arti menjadi pemenang sesungguhnya.

Kalau diminta flashback ke acara LKBB cuma satu yang diinget, insiden naik truk. Iya dong, ini ceritaku saat harus pergi lomba Lkbb menggunakan truk pasir. Tapi biarlah, itu jadi kenangan yang paling manis buat aku dan angkatanku.
Pertemuanku dengan Amel, tentu buat aku senang. Karena adik kelasku yang satu ini punya banyak bahan sharing seputar dunia anak. Usianya masih muda, tapi pengalamannya pasti sudah banyak. Amel adalah adik kelasku di SD sekaligus penerus kegiatan Pramuka di SD Pasirangin dan SD Babakan. Hhhehe jadi malu saya, belum bisa berbuat apa-apa buat SD. Berhubung ada lomba yang prestisius banget untuk kepramukaan yaitu LKBB, dia dipercaya untuk melatih sekaligus mendampingi anak-anak. Tapi ga mungkin keduanya, Amel harus mendampingi satu SD saja yaitu SD Babakan. Di hari perlombaan, hari yang paling mendebarkan untuk berjuang di arena lomba perubahan sikap terjadi. Amel diblokade anak-anak SD Pasirangin dengan sikap yang dingin dan saling tak peduli. Sapaan? Tak ada. Saling pandang? Engga ada. Padahal ketika latihan di hari-hari biasa mereka lengket dengan Amel. Keadaan saling tidak peduli semakin diperkuat dengan perolehan juara dari SD Babakan. Sedangkan SD pasirangin belum masuk kategori juara. Semakin memuncaklah keiriian mereka. Pilih kasih, engga adil, lebih sayang, engga peduli diberikan pada Amel dari murid-muridnya sendiri. Namanya juga anak SD yaaa. Tingkat kesetaraan perlakuan bagi mereka harus benar-benar adil. Tapi mereka seperti itu karena mereka ingin mendapatkan dan merasakan hak yang sama. Dan memberi pengertian pada mereka "Bukan tentang karena didampingi siapa tapi karena kemauan dan usaha yang kuat itu yang buat kita bisa menang. Semua orang mau menang dan memenangkan tapi apa mau usaha dan mengusahakannya?" Dan semoga adik-adik kelas kita belajar banyak dari sebuah kekalahan. Berbesar hati menerima kekalahan itu yang namanya pemenang. Setuju pemirsah???  

En.
Pas Bedrest
Tempat tidur tersayang, cie.