Surat dunia.
"Kita tahu mana yg sangat nyaman untuk dijalani daripada terpaksa lebih baik ditegaskan dari SEKARANGA"
Sudah genap satu tahun ku tinggalkan SMA. Masa dimana paling menyenangkan dan paling anak muda. Paling antusias dengan kegiatan organisasi dan petualangan. Genap sudah kesetimbangan kimia, gaya lorentz, statistika, rekayasa genetika, dan para saudaranya belum terbahas lagi. Ya... selalu ada rindu saat kebiasaan tak dilakukan lagi. Waktu memang bergulir, tapi dengan cerita yg selalu berbeda. Dan ini akan berjalan dinamis. Termasuk setiap pilihan hidup seseorang.
Kali ini, aku ingin mengajak kalian untuk memahami apa yg harusnya kalian pilih. Ketika SMA dulu, ada satu teman karibku. Mentari. Kami lewati masa-masa terbaik dengan cara terbaik juga. Dia pribadi apa adanya. Tak malu mengakui kekurangan dan satu hal "mau belajar dari nol". Sudah banyak cerita, kami harus saling belajar untuk mengejar ketertinggalan pelajaran saat sekolah. Kami besarkan hati, sekiranya ada ulangan yg belum mencapai standar minimal. Tapi setelah itu, kami harus berjuang bersama-sama untuk memperbaiki nilai kami. Dia adalah teman terajin yg pernah aku punya. Dia datang lebih awal ke sekolah hanya untuk menungguku untuk belajar bersama sebelum bel berbunyi. Tapi tahukah kalian, "dimana dia sekarang?"
Dia sama sepertiku. Meraih pendidikan tinggi di PTN. Dia memilih jurusan Ekonomi. Benarkah? Ya... dia pantas untuk mendapatkannya. Tapi... satu hal ini yg aku sayangkan.
Sore itu, aku tak sengaja bertemu dengannya di tepi jalan. Aku mengobrol dengannya seputar kegiatan masing-masing. Dia masih ingat kalau aku berminat puisi. Dia menunjukan lomba baca puisi dengan total hadiah 50 juta. Menggiurkan.
"Ikut aja ka," ajaknya antusias.
"Cuma tinggal 2 hari lagi pendaftaran men," kataku ragu.
Topik aku alihkan seputar kuliah. Karena aku penasaran kabar kuliahnya.
"Gimana kuliah?"
"Gue ambil jurusan ekonomi ka, tapi ya gitu susah. Gue pusing, rumit,"
"Kok?"
"Iya... gue mau pindah jurusan aja. Tapi..."
"Tapi?" Tanyaku penasaran.
Dia terdiam. Tak ada kelanjutan. Justru dia yg mengalihkan topik.
"Katanya mau ke art bro?"
Aku yg kini tak bisa menjawab. Aku pernah janji ke sanggar seninya. Yaa namanya "Art Bro".
"Dateng aja ka, ramein disana," ajaknya antusias.
"Siap," jawabku semangat.
Karena aku penasaran, aku cari Art Bro. Jum'at sore, setelah urusan sekolah dan bisnis selesai, ku cari alamat Art Bro. Memang jodoh dengan tempat itu, aku bertemu dengan Mentari di perjalanan. Ia juga ingin ke destinasi yg sama.
Sampai di gerbangnya, de javu. Iya... aku pernah kesini sebelumnya. Tapi dulu, saat belum disulap jadi sanggar seni. Lukisan sudah tergantung manis di tembok. Ada yg ukurannya besar dan ada juga yg ukurannya sebesar figura foto. Tempatnya juga nyaman dan artistik. Banyak anak kecil yg bermain disini.
"Iya... ini tempat nongkrong anak-anak aja. Sambil kasih ruang belajar buat anak-anak kampung sini buat belajar gambar," penjelasan dari pemilik Art Bro, Ihsan.
Satu hal yg mengusik fikiranku, hal yg berbau seni pasti bernilai tinggi. Termasuk untuk harga dan pembiayaan.
"Berarti ini berbayar ya?" Tanyaku.
"Oh kalau untuk anak-anak yg mau belajar melukis gratis kok. Siapa aja boleh ikut," katanya ramah.
"Pembiayaannya dari mana?" Kataku frontal.
"Ada aja kok rezekinya. Dan ketika kita buka ini juga alhamdulillah responnya baik, meski ada juga yg belum bisa menerima kita," ujarnya.
Ternyata sama dengan yg kurasakan. Bahwa aku juga ada di posisi yg sama. Saat niat tulus masih dipandang negatif oleh lingkunga. Hmm yasudah.... yg lebih penting adalah pembuktian ke lingkungan. Aku lihat wajah mentari yg antusias di sana. Semangatnya jutaan kali lipat daripada membahas kuliah. Dan aku pastikan, ini yg mentari suka. Karena dunia yg buat kita nyaman akan memancarkan kebahagiaan di wajah. Ada usaha terbaik memperjuangkannya dan satu lagi, rela berkorban untuk meraih itu. Mentari sudah lakukan itu, bahkan sangat baik melakukannya. Sangat membanggakan dan peduli dengan lingkungan. Memang lingkungan perlu diedukasi agar mampu menerima pembaharuan yg positif.
Dan aku belajar.
Ikan air tawar dipindahkan ke laut, memang sama-sama air tapi berbeda rasanya. Sama seperti pohon strawberry yg ditanam di dataran rendah, tumbuh memang tapi tak lebat buahnya.
"Apa yg kita cintai, akan mendukung produktif kita, anak muda harus paham siapa dirinya,"
En.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar