Jumat, 04 Juli 2014

Sad

Surat dunia.

"Sedih adalah saat kita harus menghargai hidup ini,"

Pertanyaan retoris, saat ada yg bilang gini ke kamu, "pernah sedih ga?" Pasti pernah. Kenapa ya kita harus sedih? Itu pertanyaannya. Sedih. Temannya gembira. Masih saudara sama bahagia namun beda sifat. Sedih juga merupakan kata sifat. Apa itu sedih? Menurutku sedih adalah perwujudan perasaan akan sesuatu hal yg tidak sesuai dengan harapan kita. Kapan sedih muncul? Tentu saat kita merasa yg ada di hidup kita tidak membahagiakan. Bagaimana sedih bisa terjadi? Ini naluriah sekali. Setiap manusia diberi perasaan dalam nuraninya untuk bisa mempertimbangkan yg terjadi. Sedih salah satu bagian dari perasaan. Dan benarkah sedih tidak sehat? Kata siapa? Sedih sehat kok secara iman. Ingatkah tingkah laku kita, saat kita bahagia kita lupa Allah. Saat kita sedih kita baru ingat Allah. Dan ini juga yg kurasakan. Satu Dzat ini kadang terlupa. Dalam ucapan terlupa. Apalagi dalam syukur. Astaghfirullah....
Gimana kalau sedihnya pake banget dan menahun? Nah ini yg bahaya. Sedih itu ada waktunya ya. Kelamaan nanti expired. Basi deh. Kalau sampai menahun wah... bisa rusak nih hati dan perasaannya. Karena ingat ya hati itu cuma satu, kalau diisi sedih terus nanti ga bisa diganti dengan yg baru. Terus hidup cuma sekali, kalau isinya sedih terus.... wahhhh masa depannya gimana????
Kalau kata puitisi muda, sedih adalah saat kita harus bersyukur dengan adanya bahagia. Kalau kata motivator, sedih itu masa dimana membangun bahagia. Nah kalau kata ku sedih itu,

"Sedih itu adalah saat dimana penolakan, kecewa, penghinaan, tidak berdaya, akan keadaan kita. Tapi bukan untuk dihayati tapi dipelajari. Nah loh? Emang pelajaran? Maksudnya dipelajari untuk dapat cara bahagia lagi."

En.

Art

Surat dunia.

"Kita tahu mana yg sangat nyaman untuk dijalani daripada terpaksa lebih baik ditegaskan dari SEKARANGA"

Sudah genap satu tahun ku tinggalkan SMA. Masa dimana paling menyenangkan dan paling anak muda. Paling antusias dengan kegiatan organisasi dan petualangan. Genap sudah kesetimbangan kimia, gaya lorentz, statistika, rekayasa genetika, dan para saudaranya belum terbahas lagi. Ya... selalu ada rindu saat kebiasaan tak dilakukan lagi. Waktu memang bergulir, tapi dengan cerita yg selalu berbeda. Dan ini akan berjalan dinamis. Termasuk setiap pilihan hidup seseorang.
Kali ini, aku ingin mengajak kalian untuk memahami apa yg harusnya kalian pilih. Ketika SMA dulu, ada satu teman karibku. Mentari. Kami lewati masa-masa terbaik dengan cara terbaik juga. Dia pribadi apa adanya. Tak malu mengakui kekurangan dan satu hal "mau belajar dari nol". Sudah banyak cerita, kami harus saling belajar untuk mengejar ketertinggalan pelajaran saat sekolah. Kami besarkan hati, sekiranya ada ulangan yg belum mencapai standar minimal. Tapi setelah itu, kami harus berjuang bersama-sama untuk memperbaiki nilai kami. Dia adalah teman terajin yg pernah aku punya. Dia datang lebih awal ke sekolah hanya untuk menungguku untuk belajar bersama sebelum bel berbunyi. Tapi tahukah kalian, "dimana dia sekarang?"
Dia sama sepertiku. Meraih pendidikan tinggi di PTN. Dia memilih jurusan Ekonomi. Benarkah? Ya... dia pantas untuk mendapatkannya. Tapi... satu hal ini yg aku sayangkan.

Sore itu, aku tak sengaja bertemu dengannya di tepi jalan. Aku mengobrol dengannya seputar kegiatan masing-masing. Dia masih ingat kalau aku berminat puisi. Dia menunjukan lomba baca puisi dengan total hadiah 50 juta. Menggiurkan.

"Ikut aja ka," ajaknya antusias.

"Cuma tinggal 2 hari lagi pendaftaran men," kataku ragu.

Topik aku alihkan seputar kuliah. Karena aku penasaran kabar kuliahnya.

"Gimana kuliah?"

"Gue ambil jurusan ekonomi ka, tapi ya gitu susah. Gue pusing, rumit,"

"Kok?"

"Iya... gue mau pindah jurusan aja. Tapi..."

"Tapi?" Tanyaku penasaran.

Dia terdiam. Tak ada kelanjutan. Justru dia yg mengalihkan topik.

"Katanya mau ke art bro?"

Aku yg kini tak bisa menjawab. Aku pernah janji ke sanggar seninya. Yaa namanya "Art Bro".

"Dateng aja ka, ramein disana," ajaknya antusias.

"Siap," jawabku semangat.

Karena aku penasaran, aku cari Art Bro. Jum'at sore, setelah urusan sekolah dan bisnis selesai, ku cari alamat Art Bro. Memang jodoh dengan tempat itu, aku bertemu dengan Mentari di perjalanan. Ia juga ingin ke destinasi yg sama.
Sampai di gerbangnya, de javu. Iya... aku pernah kesini sebelumnya. Tapi dulu, saat belum disulap jadi sanggar seni. Lukisan sudah tergantung manis di tembok. Ada yg ukurannya besar dan ada juga yg ukurannya sebesar figura foto. Tempatnya juga nyaman dan artistik. Banyak anak kecil yg bermain disini.

"Iya... ini tempat nongkrong anak-anak aja. Sambil kasih ruang belajar buat anak-anak kampung sini buat belajar gambar," penjelasan dari pemilik Art Bro, Ihsan.

Satu hal yg mengusik fikiranku, hal yg berbau seni pasti bernilai tinggi. Termasuk untuk harga dan pembiayaan.

"Berarti ini berbayar ya?" Tanyaku.

"Oh kalau untuk anak-anak yg mau belajar melukis gratis kok. Siapa aja boleh ikut," katanya ramah.

"Pembiayaannya dari mana?" Kataku frontal.

"Ada aja kok rezekinya. Dan ketika kita buka ini juga alhamdulillah responnya baik, meski ada juga yg belum bisa menerima kita," ujarnya.

Ternyata sama dengan yg kurasakan. Bahwa aku juga ada di posisi yg sama. Saat niat tulus masih dipandang negatif oleh lingkunga. Hmm yasudah.... yg lebih penting adalah pembuktian ke lingkungan. Aku lihat wajah mentari yg antusias di sana. Semangatnya jutaan kali lipat daripada membahas kuliah. Dan aku pastikan, ini yg mentari suka. Karena dunia yg buat kita nyaman akan memancarkan kebahagiaan di wajah. Ada usaha terbaik memperjuangkannya dan satu lagi, rela berkorban untuk meraih itu. Mentari sudah lakukan itu, bahkan sangat baik melakukannya. Sangat membanggakan dan peduli dengan lingkungan. Memang lingkungan perlu diedukasi agar mampu menerima pembaharuan yg positif.

Dan aku belajar.
Ikan air tawar dipindahkan ke laut, memang sama-sama air tapi berbeda rasanya. Sama seperti pohon strawberry yg ditanam di dataran rendah, tumbuh memang tapi tak lebat buahnya.

"Apa yg kita cintai, akan mendukung produktif kita, anak muda harus paham siapa dirinya,"

En.

Kamis, 03 Juli 2014

Partner

Letter from my world.

"I wanna be your partner, welcome the world and success to us,"

Kalau kamu berfikir sendirian, maka kamu juga berjalan sendirian. Berfikir caranya sendirian, masalah ditanggung sendirian, sedih pun juga sendirian. Rasanya dilekat dengan kata , "S E N D I R I," itu bagai dunia asing bagi kita. Orang-orang jauh dari kita dan tak memperdulikan kita.

Sebetulnya yg sangat menakutkan dari sebuah kebersamaan hangat adalah "merasa sendirian," ini yg membuat kita menjauh dari kebersamaan itu. Selalu merasa sendiri menjadi blok yg kuat di fikiran kita. Mengapa kita selalu merasa sendirian padahal banyak yg memberikan perhatiannya pada kita,
1. Kita terlalu menganggap keadaan tidak memihak kita. Keadaan yg sulit buat kita menyalahkannya. Tidak adil. Kenapa harus aku? Hmm... mungkin itu juga yg pernah aku rasakan. Mencari jutaan alasan untuk menguatkan keadaan buruk yg menimpa kita. Tapi ingatkah ini, "yg baik menurut kita, belum tentu baik menurut Allah,"
2. Keadaan yg sulit dihayati berlebihan.
manusia oh manusia. Ada sisi dimana mereka tegar, ada juga sisi dimana mereka terlalu menghayati keadaan sebegitu menyedihkannya. Seakan masalah itu berat dan sulit dipecahkan. Ini adalah zona fikiran sempit yg harus ditinggalkan. Dan keadaan ini juga manusia jadi susah yg namanya berbagi masalah. Kok berbagi masalah? Iyaa karena dalam fikirannya sudah beranggapan "sulit" untuk dipecahkan maka untuk berusaha cari jalan keluar terhambat. Jadinya? Ada 2 kemungkinan. Manusia yg selalu bersyukur akan meminta bantuan orang-orang terbaik di hidup mereka untuk memberi solusi. Inilah titik dimana aku akan membahas partner.
Partner hidup? Hmm lebih dari itu. Partner kerja? Lebih menguntungkan dari itu. Lalu partner apa? Partner dunia wal akhirat. Wuih..  berat bahasannya. Ah engga kok. Ini cuma bahas partner. Partner itu seseorang yg kita percaya untuk diajak merencanakan dan mewujudkan bersama. So bisnis nih? Engga kok. Apapun itu. Misalnya, partner antara pembuat coklat dan reseller coklat. Jelas ga maknanya? Hmm sama-sama bisnis coklat. Belum tepat. Mereka berdua sama-sama melengkapi. Dan itulah partner. Bukan menjerumuskan, tapi merencanakan. Bukan menghancurkan tapi mewujudkan. Gimana caranya bisa ketemu partner kita? Hmm... ini bergantung selera sih. Tapi yg jelas mereka itu punya visi hidup yg sama dengan kita. Dan satu yg terpenting, dia selalu siap untuk merencanakan kehidupan terbaik dan feedbacknya untuk kita. Fiddunya wal akhirah. Ingat surat al-asr. "Nasihat menasihati dalam kebenaran, nasihat menasihati dalam kesabaran," itulah partner ter-kece.

"Yg namanya partner itu ga akan berani jerumusin tapi berani mendukung satu sama lain,"

En.