Rabu, 23 Agustus 2017

Surat wisuda : ini soal mengalahkan diri sendiri

Dear blogger.

Post kali ini lanjutan dari surat sarjana yang pernah saya posting satu tahun lalu.

Seperti flashback masa itu, masa dimana saya merasa gamang dan belum bisa membedakan prioritas yang harus dikerjakan. Semua maknanya penting dan harus selesai dalam bersamaan.

Bagi kami mahasiswa dengan tanggung jawab double, bekerja dan kuliah menjalankan semester akhir menjadi perjuangan yang patut diperjuangkan. Bahkan dengan kata "wajib diperjuangkan". Lalu sama halnya dengan mahasiswa yang triple tanggung jawab. Ada tanggung jawab keluarga, bekerja, dan kuliah. Semuanya menjadi bersamaan bersatu padu dalam hidup kita.

Namun ada cita-cita menjadi sarjana yang berkualitas menjadi pembakar semangat untuk kami, mahasiswa tingkat akhir.

Apa yang menakutkan dari skripsi? 

Diawali Judul yang membuat kami harus berfikir matang dalam mengambil dan memilihnya. Dari judul dapat menentukan struktur skripsi dan gambaran penelitian di lapangan. Belum ada kata menakutkan dalam memilih judul. 

Lalu pertemuan dengan dosen pembimbing menjadi langkah selanjutnya yang harus ditempuh. Ada banyak dugaan kita yang terlalu berlebihan soal dosen pembimbing. Ada perasaan takut, takut salah, takut dimarahi, takut dicoret-coret skripsi manis kita. Padahal beliau semua adalah guru kita. Tak ada guru yang ingin membuat siswanya salah. Sama halnya dosen pembimbing dengan segala kesibukan jadwalnya namun masih memberi perhatian, koreksian dan semangat mereka untuk kita. 

Semua bermodal sabar dan mau berubah. Meski banyak hal kekurangan dalam kita belajar namun selama kita memahami bahwa tak ada yang sempurna maka kita akan terus belajar menjadi lebih baik. Bagi para pejuang skripsi manis, berpacu dengan waktu adalah hal yang sangat diperhitungkan. Ummar bin khatab pernah berkata, "waktu adalah pedang" dan sama maknanya bagi kami. Sedikit waktu terlewat sia-sia sama artinya melewatkan kesempatan. 

Apa yang buat para pejuang skripsi manis bertahan dan mampu melewatinya? Banyak diantara teman-teman mengaitkan lulus sidang dengan banyak hal.

Misalnya, "Nunda skripsi sama halnya nunda ke pelaminan," nah ini bagi mahasiswa yang abis sidang bakal dilamar sama si pujaan hati.

Atau bisa, "nunda skripsi sama halnya nunda banyak waktu main dan traveling kemana-mana" nah ini bagi mahasiswa yang doyan main jauh dan traveling tapi masih kefikiran kok skripsinya belum kelar.

Atau bisa juga, "nunda skrpsi sama hal nambah budget ortu buat bayar semester lagi," nah kalau yang ini ortu yang bisa repot.

Dan bagi para pejuang skripsi, apa yang paling ampuh buat sadar kalau kita punya tanggung jawab menyelesaikannya. Alasannya orang tua.

Jujur saya, harapan mereka agar anak-anaknya bisa bertanggung jawab atas pendidikannya. Bagi saya saat ibu saya bilang ke ibu-ibu lainnya, "anak saya kuliah bu. Jauh kuliahnya nanti jadi sarjana bu." namanya juga ibu-ibu. Tapi inilah bukti bangga kedua orang tua kita kepada kita atas keputusan kita untuk terus belajar. Bagi anak rantau pasti paham rasanya, saat jauh dari orang tua namun menjadi kebangaan bagi mereka di kampung.

Dan semua yang dialami mahasiswa tingkat akhir, semua berawal dari mampu mengalahkan diri sendiri. Rasa malas dan segudang alasan belum bisa kita mengerjakan skripsi menjadi perang bagi diri kita. 

Semua berawal dari kita mampu mengalahkan diri kita sendiri dan keluar dari zona aman dan nyaman.

Toga bukan hanya soal baju wisuda, tapi tentang kesungguhan dalam menjalani setiap tahapnya.

Dan buat teman-teman yang telah melewati semester akhir, saya ucapkan selamat atas pencapaian. Semenakutkannya skripsi yang buat kita takut adalah fikiran kita sendiri.

Catatan ini dibuat : untuk pembelajaran saya bahwa saya pernah merasakan malas dalam mengerjakan skripsi saya. Namun segera sadar dan tobat. Hehhehe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar