Assalamu'alaikum... Dear sahabat blogger.
Semoga malam Sabtu adalah malam yang indah untuk berkumpul dengan keluarga. Sudah tidak sabar, jari ini ingin mengetik review dari sebuah film.
Judulnya sederhana, "Ibu Maafkan Aku". Film ini tayang di salah satu stasiun tv nasional.
Dikisahkan, seorang ibu yang berjuang sebagai pemecah batu sungai dengan dua orang putra dan seorang putri. Ketiga anaknya berjuang untuk menuntaskan pendidikan. Anak pertama, Bayu. Ia bercita-cita menjadi seorang pilot. Setelah lulus SMA, Ia putuskan untuk merantau ke Kota. Bertekad akan mengubah nasib dan pantang pulang sebelum sukses.
Kegigihan menuntun kita pada jalan impian kita. Bayu membuktikan bahwa Ia bisa meraih cita-cita dan pulang ke kampung untuk menjenguk ibunya. Gagah, tampan, berpendidikan. Kini Bayu menjadi pemuda yang sukses karier dan pendidikan.
Anak kedua, Gendhis. Ia bercita-cita menjadi seorang Dokter. Sejak lulus SMA, Gendhis ke Kota untuk kuliah jurusan kedokteran. Bermodal uang tabungan dari ibu, Gendhis berusaha mengejar beasiswa. Nasib baik berpihak padanya, Ia lulusan terbaik dan ditempatkan di daerah dengan gelar barunya, seorang dokter. Muda, cantik, cekatan dan berpendidikan. Namun, pekerjaan menuntutnya tetap siaga di daerah pedalaman. Ibu memang bangga padanya, namun kerinduan semakin bertambah untuk kedua anak-anaknya.
Anak ketiga, tetap menjaga ibu. Ia masih di bangku sekolah menengah atas. Kebutuhan hidup keluarga telah terpenuhi dari kedua anak-anaknya yang sukses. Namun itu belum bisa menggenapi rasa sepi di hati ibu. Tiap bulan, kiriman uang selalu bertambah. Namun tetap, dalam hati seorang ibu adalah merindukan kepulangan anak-anaknya.
Beberapa pesan singkat, voice note dan panggilan dikirim untuk mengobati kerinduan. Hasilnya nihil. Semua sibuk dalam karier dan karier.
Hingga suatu hari, mata ibu terkena pecahan batu. Penglihatannya menurun. Kedua anaknya menambah uang bulanan untuk pengobatan, namun ibu bersikeras untuk tetap bekerja, memecahkan batu sungai.
Makin hari kian menyepi, ibu justru sering sakit bukan karena menua tapi karena ingin dijenguk oleh anak-anaknya. Hingga suatu hari, ibu jatuh pingsan karena serangan jantung.
Kedua anaknya segera pulang. Kecemasan tergurat jelas di wajah keduanya. Gendhis, sang dokter segera memberikan pertolongan.
"Ini harus dibawa ke ruma sakit, biar mba yang urus. Disana peralatan lengkap," ucap Gendhis.
"Gimana kalau mba saja yang rawat ibu di rumah? Ibu cuma ingin lihat mas dan mba pulang. Nemenin ibu. Sebenarnya uang bulanan untuk berobat tidak pernah dipakai. Ibu menolak. Katanya simpan saja. Mba sama Mas capek cari uang jadi ibu ga mau habiskan. Ibu masih sanggup kerja,"
Sesak menyelimuti dada Gendhis. Selama ini ibunya hanya butuh kehadiran anak-anaknya. Bukan kehadiran uang mereka.
Dari kisah ini, justru saya terasa terbawa pada konflik yang memang nyata di masyarakat. Bahwa sejauh apapun langkah seorang anak merantau, sesukses apapun seorang anak tetap di sisi seorang ibu kasih sayang selalu utuh untuk anak. Harta bisa membahagiakan, namun masa tua ibu dan bapak yang paling membahagiakan adalah menemani mereka. Jangan sampai masa sibuk merenggut bakti kepada mereka berdua.
"Tangan seorang ibu menuntun anak-anaknya ketika di dunia namun menuntun hati anak-anaknya sampai mereka menutup mata,"
Semoga Allah menjadikan kita semua menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua.
Salam sayang.