Sabtu, 20 April 2019

Catatan Garis Dua : [ Review Film ] Ibu Maafkan Aku

Assalamu'alaikum... Dear sahabat blogger.

Semoga malam Sabtu adalah malam yang indah untuk berkumpul dengan keluarga. Sudah tidak sabar, jari ini ingin mengetik review dari sebuah film.

Judulnya sederhana, "Ibu Maafkan Aku". Film ini tayang di salah satu stasiun tv nasional.

Dikisahkan, seorang ibu yang berjuang sebagai pemecah batu sungai dengan dua orang putra dan seorang putri. Ketiga anaknya berjuang untuk menuntaskan pendidikan. Anak pertama, Bayu. Ia bercita-cita menjadi seorang pilot. Setelah lulus SMA, Ia putuskan untuk merantau ke Kota. Bertekad akan mengubah nasib dan pantang pulang sebelum sukses.

Kegigihan menuntun kita pada jalan impian kita. Bayu membuktikan bahwa Ia bisa meraih cita-cita dan pulang ke kampung untuk menjenguk ibunya. Gagah, tampan, berpendidikan. Kini Bayu menjadi pemuda yang sukses karier dan pendidikan.

Anak kedua, Gendhis. Ia bercita-cita menjadi seorang Dokter. Sejak lulus SMA, Gendhis ke Kota untuk kuliah jurusan kedokteran. Bermodal uang tabungan dari ibu, Gendhis berusaha mengejar beasiswa. Nasib baik berpihak padanya, Ia lulusan terbaik dan ditempatkan di daerah dengan gelar barunya, seorang dokter. Muda, cantik, cekatan dan berpendidikan. Namun, pekerjaan menuntutnya tetap siaga di daerah pedalaman. Ibu memang bangga padanya, namun kerinduan semakin bertambah untuk kedua anak-anaknya.

Anak ketiga, tetap menjaga ibu. Ia masih di bangku sekolah menengah atas. Kebutuhan hidup keluarga telah terpenuhi dari kedua anak-anaknya yang sukses. Namun itu belum bisa menggenapi rasa sepi di hati ibu. Tiap bulan, kiriman uang selalu bertambah. Namun tetap, dalam hati seorang ibu adalah merindukan kepulangan anak-anaknya.

Beberapa pesan singkat, voice note dan panggilan dikirim untuk mengobati kerinduan. Hasilnya nihil. Semua sibuk dalam karier dan karier.

Hingga suatu hari, mata ibu terkena pecahan batu. Penglihatannya menurun. Kedua anaknya menambah uang bulanan untuk pengobatan, namun ibu bersikeras untuk tetap bekerja, memecahkan batu sungai.

Makin hari kian menyepi, ibu justru sering sakit bukan karena menua tapi karena ingin dijenguk oleh anak-anaknya. Hingga suatu hari, ibu jatuh pingsan karena serangan jantung.

Kedua anaknya segera pulang. Kecemasan tergurat jelas di wajah keduanya. Gendhis, sang dokter segera memberikan pertolongan.

"Ini harus dibawa ke ruma sakit, biar mba yang urus. Disana peralatan lengkap," ucap Gendhis.

"Gimana kalau mba saja yang rawat ibu di rumah? Ibu cuma ingin lihat mas dan mba pulang. Nemenin ibu. Sebenarnya uang bulanan untuk berobat tidak pernah dipakai. Ibu menolak. Katanya simpan saja. Mba sama Mas capek cari uang jadi ibu ga mau habiskan. Ibu masih sanggup kerja,"

Sesak menyelimuti dada Gendhis. Selama ini ibunya hanya butuh kehadiran anak-anaknya. Bukan kehadiran uang mereka.

Dari kisah ini, justru saya terasa terbawa pada konflik yang memang nyata di masyarakat. Bahwa sejauh apapun langkah seorang anak merantau, sesukses apapun seorang anak tetap di sisi seorang ibu kasih sayang selalu utuh untuk anak. Harta bisa membahagiakan, namun masa tua ibu dan bapak yang paling membahagiakan adalah menemani mereka. Jangan sampai masa sibuk merenggut bakti kepada mereka berdua.

"Tangan seorang ibu menuntun anak-anaknya ketika di dunia namun menuntun hati anak-anaknya sampai mereka menutup mata,"

Semoga Allah menjadikan kita semua menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua.

Salam sayang.

Catatan garis dua : Titik Bangkit

Assalamu'alaikum.. Dear Sahabat Blogger.

Lama hati ini ingin berlabuh. Lewat ketikan kata yang kadang kelu bibir ini mengungkapkan. Hati ini mulai mencari jawaban atas segala perasaan khawatir akan hari esok. Semoga rindu kian berkurang, meski sering absen selancar di blogger.

Titik bangkit ini saya mulai, setelah banyak pertanyaan yang dituju untuk kami berdua. Singkat, namun amat sangat bermakna di hati kami.

"Memang tidak bosan berdua terus?"
Atau dengan redaksi yang sama,

"Sudah hamil belum?"

Hati kami pun sedang mencari jawaban yang meyakinkan kami. Namun dengan pertolongan Allah maka kemudahan pasti datang.

Sungguh, kami sangat bahagia jika ada kabar kehamilan. Terlebih bagi pasangan yang masih baru dan diberi kepercayaan dari Allah. Namun pasti setelah itu, ada kebaperan dalam hati yang tidak bisa kami menampiknya.

"Aku kapan ya?"

Kami berdua selalu berusaha menjadi support system yang kuat. Itu adalah kekokohan yang harus kami bangun dengan segala terpaan pertanyaan netizen yang kadang suka kurang filtrasi.

Sudah berusaha sejauh mana?

Sejauh mata memandang, kami tak pernah lelah dan letih. Kadang, mereka yang bertanya dengan mudahnya soal kehamilan, misal begini "Kok belum juga ya? (Sambil jelasin masa pernikahan de el el). Sungguh sebesar apapun usaha kami, cukup kami dan Allah yang tahu.

Masa penantian ini menjadi titik bangkit kami. Ada satu kisah dari Uda nasi padang langganan kami. Suatu sore, kami makan di sana. Melihat anak Uda yang sedang belajar jalan, kami takjub dan berkomentar, " Duh baby girlnya cantik sekali,"

Uda hanya tersenyum. Dan langsung mengkisahkan perjuangannya.

"Saya menunggu satu setengah tahun untuk sebuah proses kehamilan. Saya dulu tukang gorengan mba. Saya bagikan gorengan satu plastik setiap hari. Kepada siapa saja. Mau yang saya kenal ataupun engga. Saya hanya minta dibacakan Al-fatihah untuk hajat saya yaitu memiliki keturunan."

Kami termenung. Justru kami yang belum mempersiapkan apa-apa bagi keturunan kami. Uda justru dengan gorengannya menjadi ladang pahala bagi keluarganya.

Uda dengan semangat melanjutkan ceritanya, "Kalau kita ingin rezeki yang berlimpah, maka siapkan wadah yang besar. Misalnya begini, kalau Allah memberi rezeki yang banyak tapi wadah kita kecil kan akan berserakan kemana-mana. Lain halnya kalau wadah kita besar, sebanyak apapun rezeki maka kita siap menampungnya. Anak adalah rezeki," jelas Uda.

Sungguh, sesederhana itu justru kami belum memahaminya. Kami fokus pada muhasabah diri dan mohon pengampunan atas dosa-dosa kami. Konsep Uda tadi menambah daftar target kami selanjutnya. Bahwa semangat berketurunan didukung wadah kebaikan yang besar.

Ini adalah titik bangkit kami. Fokus pada yang tidak dimiliki akan membuat kami lelah. Kelelahan itu akan mereduksi sedikit demi sedikit rasa syukur kami. Hingga ada di titik menyerah karena hampa mengejar dunia namun lupa dengan akhirat.  Sesungguhnya Allah akan mengubah suatu kaum jika kaum tersebut mau berusaha mengubah. Intinya usaha sejalan dengan doa dan tawakal. Dan titik bangkit ini kami jadikan wadah yang besar. Agar kami bisa menebar manfaat dan semangat.

Bagi para pejuang buah hati, Allah is best planner. Semua akan indah pada waktunya. Nikmati setiap kebersamaan bersama kekasih halal. Allah itu kalau memberi ga tanggung-tanggung.

Seterusnya akan ada banyak catatan garis dua dari kami. Kami ingin mempersiapkan dengan mengambil makna kebaikan.

Salam sayang
En